Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
KHITTAH.CO- Tanda zaman kita adalah pelepasan dan penolakan berupa obyek dan angka atau konsep. Apapun bentuk kesenjangan pengetahuan kita tentang tanda zaman yang memproduksi ketelanjangan dan ketakutan, memanggungkan mesin bolak-balik: “mesin simulasi” melipatgandakan “mesin asli” sekaligus mesin asli mengalamiahkan mesin sebagai mesin yang hidup, “merekayasa sesuatu”, tanpa metafora, ia sungguh-sungguh mesin (Baudrillardian). Demikian pula, mimpi kita betul-betul nyata, mereduksinya dengan tanda zaman. Dalam mimpi dan khayalan terepresi seketika, betapa luar biasanya ia menjadi model kekerasan yang disimulasikan melalui rezim diskursus ekonomi politik yang dilepaskan sebagai represi primer.
Akhir dari produksi dengan halusinasi terindah tentang adegan yang tidak nampak, tanpa terpaksa dibayar dengan harga seberapapun. Dalam keseimbangan kekuatan, mesin perlawanan terhadap tirani: ketidakadilan-kezaliman, kebodohan, dan perbudakan tanda-kode muncul pada saat kita tidak mampu membayangkan seluruh korban kekerasan dari adegan yang tidak nampak di atas panggung (panggung ada dimana-mana). Kemanapun kita pergi akan selalu melihat kekuatan dari ritual perlawanan untuk menundakan ritual kematian (dimulai dari ciutnya nyali).
Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam disini tentang kekerasan tanpa fisik dari perang ideologi atau perang pemikiran (teror) yang terencana dan tersembunyi justeru berubah menjadi sesuatu yang tidak terpikirkan di balik produksi material atas nama kesejahteraan sosial akan terjatuh kedalam kehampaan, akhirnya ketidakadilan sosial atau distribusi yang timpang melanda pada banyak orang (multitude). Sebaliknya, korban kekerasan simbolik akibat surplus kuasa (ekonomi politik-teknosains) nampaknya sulit untuk terbeli dengan nilai apapun. Tetapi, terinfeksinya masa depan dunia melalui ledakan personal/subyektif: kejahatan, kelicikan, dan merebaknya represi secara impersonal-obyektif: gagalnya negara melayani, diskriminasi, intimidasi, rasisme, dan malapetaka sosial-ekonomi atau brutalnya hasrat politik membuat kita berduka cita.
Melalui mesin baru, tidak ada lagi nilai tanda-simbolik, yang ada hanyalah pemaksaan, eksploitasi hingga malapetaka. Misalnya, kaum buruh dieksploitasi melalui sistem kerja di bawah kendali mesin modal, dan di sini tidak ada alasan penting yang dapat kita kemukakan, karena segalanya adalah ketelanjangan, memutusnya kuasa yang tidak stabil. Berbicara melalui tulisan tidak begitu menciptakan, berapa ongkos masyarakat untuk menanggung beban hidup begitu berat di tengah kebudayaan daur-ulang atau masyarakat kelimpahruahan. Sudah tentu, akhir dari kebebasan berbicara akan membawa pada akhir dari tanda kebebasan menjadi hal penting untuk keseimbangan sistem kuasa. Satu sisi, menumpuknya ampas dari alienasi sosial dan represi mental kedalam model satelisasi dan mesin kapitalis yang terpaksa dicitrakan sebagai “sang beradab”-“Dunia Pertama” (Amerika Serikat cs). Tetapi anehnya, ia menjadi sumber menyeruaknya bentuk ketidakadilan, intoleransi, rasisme, dan kerusakan ekologis. Pada sisi lain, tanda kemakmuran menjadi ilusi bagi Dunia Ketiga (termasuk Indonesia), karena diposisikan layaknya sapi perahan bagi kapitalis, model eksploitasi ekonomi-politik menandai nilai tukar tidak dimiliki olehnya, memaksakan dirinya terlempar kedalam pusat orbit dan memelihara malapetaka permanen yang nyata. Mereka terpaksa bergumul bersama kekerasan imajiner untuk menghadapi malapetaka sistemik, “… memfokuskan pada “masalah nyata” dari bentuk pelarian tertinggi Dunia Ketiga,…” begitu kata Slavoj Zizek (The Parallax View, 2006, hlm. 129) karena buntut–anal sejarah panjang logika kapitalis membuatnya terhibur sejenak menyaksikan dirinya sendiri sebagai parodi.
Poros tubuh dan poros perkembangbiakan citra melebihi pengekangan hasrat, ia menjadi bagian pelepasan dan penolakan model-model halusinasi, ilusi dan citra. Pengekangan hasrat menghadapi keadaan sekarat persis hilangnya tanda kebebasan berbicara, berekspresi atau berpikir tentang kuasa yang membusuk dari dalam; tersumbatnya arus libido ekonomi-politik tidak sekeras dengan sekaratnya logika transendental. Tatkala hasrat, libido dan tubuh berubah menjadi terkekang dalam represinya, dan terkekangnya secara total merangsang perlawanan, akhirnya meledak keluar menjadi kuasa baru (Foucault, Deleuze-Guattari, Lyotard, dan Baudrillard telah menerompetkan hal-hal ajaib ini).
Kekerasan yang terpersonifikasi tidak cukup beralasan munculnya lelucon yang baik bagi kekerasan tingkat keluarga: Ayah (Kepala Negara)-Bunda (….?)-Anak (Rakyat), tatkala ia menjelma kedalam relasi simbolik, sosial, imajiner, bahasa, ontologi, dan epistemologi. Kekerasan melawan kekerasan menuju penumpang gelap dari tirani-tirani yang terlembagakan (mafia inkorporasi dan lintah birokrasi). Pengendapan hasrat sosial, penciptaan reaksi nekat dan berontak sesungguhnya langkah bunuh diri secara kolektif. Ajaibnya kekerasan mulai kekerasan berskala kecil menggumpal menjadi kekerasan berskala besar. Simbolisasi kekerasan berskala kecil seperti sang diktator Ayah (“Kapitalis yang Sosialis” atau “Sosialis yang Kapitalis”), dan didalamnya tidak ada pemecahan simbolik, kecuali mulai dari dirinya sendiri. Ayah menanamkan, membatasi, menormalkan dan mengendalikan kembali seperti tanda kuasa berada tanpa jalan keluar. Kekerasan simbolik dan bahasa muncul bersamaan sekaratnya hal-hal yang sakral (agama, moral, pernikahan, dan seterusnya) dicerminkan dengan menggumpal dan meledaknya bentuk-bentuk kekerasan ideologi dan orang-orang yang meneriakkan perlawanan padanya. (*)