Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Darurat Kekerasan Seksual

×

Darurat Kekerasan Seksual

Share this article

Oleh: Selvy*

Sekarang ini banyak kasus kekerasan seksual yang justru terjadi di muka publik yang di mana terjadi pada perempuan bahkan seorang anak di bawah umur. Hal ini sangat memprihatinkan dan perlu menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa sesungguhnya Indonesia saat ini betul-betul dalam keadaan darurat seksual.

Di tengah maraknya kasus pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh banyak mahasiswa bahkan siswa sekolah santri, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ini adalah peraturan mengenai pencegahan dan pengananan kekerasan seksual di linkungan perguruan tinggi.

Lahirnya Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 ini disebabkan, adanya data tahun 2020 yang dilaporkan dan di dalamnya terdapat 962 kasus tentang kekerasan seksual,  selain itu tempat kejadian dari kekerasan seksual ini hampir 77% terjadi di kampus atau perguruan tinggi yang di alami oleh mahasiswa. Permendikbud tersebut sangat penting terutama untuk menciptakan tempat aman untuk belajar bagi mahasiswa, karena seperti kasus kasus yang kita lihat banyak para korban tidak mau melapor karena mereka berasumsi tidak akan ada penyelesaiannya dan adanya rasa trauma yang mereka hadapi.

Permendikbud Nomor 30 tahun 2021  ini sangat penting di mana kampus harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa dan punya keberanian untuk memperjuangkan keadilan sebagai korban dengan menunjukan kekuatan atau keberdayaan penyintas karena yang dilawan bukan cuman pelaku tapi juga yang berkepentingan.

Para korban kekerasan dan seksual ini tidak hanya mengalami trauma secara fisik, namun juga secara psikis. Banyak sekali fakta mutakhir yang menunjukan kasus kekerasan seksual memang kerap terjadi, tetapi sukar untuk diungkapkan, sedangkan korban menanggung beban derita yang begitu berat, terjerat stigma negatif atau bahkan masa depannya diambang kehancuran.

Sesama perempuan kita berperan saling mendukung dan melindungi perempuan perempuan, selain itu menjadi tanggung jawab bersama untuk bergerak melawan dan mencegah tindakan kekerasan. Tempat sekolah atau kampus yang harusnya menjadi tempat akademia malah menjadi sarang predator yang tak bermoral, di lain sisi banyak penolakan terhadap peraturan ini yang meyatakan bahwa peraturan ini berpotensi melegelkan perzinahan.

Pada bulan November 2021 di Pekanbaru, Riau seseorang mahasiswa menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen sekaligus dekan FISIP Universitas Riau, saat bimbingan skripsi tidak mendapat keadilan malah nama korban tersebut hampir di coret dari yudisium, korban menangis dan protes setelah namanya hilang dari daftar yudisium sesi satu.

Korban mengamuk di depan jajaran dekan, dan akibat kegaduhan tersebut jajaran dekan yang diikuti juga oleh wakil rektor tiga yang mengadakan rapat hingga menghasilkan keputusan bahwa mahasiswa tersebut dapat mengikuti yudisium pada sesi ke dua dan pihak dekan mengklarifikasi bahwa nama mahasiswa tersebut tidak dihilagkan dari peserta yudisium tetapi pada sesinya dipindahkan ke sesi 2.

Kapankah kita berhenti untuk tidak percaya? Selain mahasiswa Universitas Riau, seseorang   pada bulan Desember 2021 di Mojekerto, Jawa Timur NWR (23 tahun) menjadi korban kekerasan ekspoitasi seksual dan pemaksaan aborsi dari Bripda Bagus Randy anggota Polres Pasuruan, hingga bunuh diri. Gadis mahasiswa di perguruan tinggi terkemuka di Jawa Timur ini memutuskan mengakhri hidupnya.

Dia membuat keputusan itu dalam kesedihan yang luar biasa yang menjadi ciri depresi dan sikap elegannya yang menyita perhatian Indonesia sekaligus memaksa kita untuk menengok dan mendalami mengapa hal ini terjadi. Hal tersebut terjadi karena dia mengalami kekerasan seksual, inilah sebenarnya titik pangkal depresi yang dideritanya, alih alih mendapatkan perlindungan malah di sudutkan.

Kekerasan seksual menyerang harga diri dan karena selalu diragukan, banyak korban memilih untuk diam. Mereka tidak sanggup untuk melawan dan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguji kredibilitas mereka sebagai korban kejahatan kekerasan seksual yang kerap terjadi di bilik pribadi di mana hanya ada si pelaku dan si korban. Kadang tanpa meniggalkan jejak forensik apapun, sehingga keputusan untuk mengakhiri hidupnya seperti yang dilakukan oleh mahasiswa di Jawa Timur tersebut.

Data kekerasan seksual di kampus yang tercacat hanyalah puncak gunung es. Mesih banyak kasus yang tercatat, salah satu penyebabnya ialah, korban tidak sadar bahwa dirinya merupakan korban pelecehan. Inilah sebabnya ruang-ruang edukasi akan kekerasan seksual haruslah terus dirawat secara berkala dan tidak hanya mucul dipermukaan sebagai momentum hari hari besar, selain itu advokasi wacana kekerasan seksual juga harus terawat degan baik agar tidak menjadi pembahasaan pasang surut. Kasus kekerasan seksual harus terus diangkat ke permukaan karena mengigat sifatnya yang sangat mendesak dan meresahkan.

Maka dari itu kita harus membangun dan mengembangkan proyek emensipasi dalam ranah kehidupan sosial. Proyek tersebut menekankan pada perencanaan dan tindakan dalam menciptakan dan menumbuhkan sikap saling menghargai sesama manusia. Eksistensi manusia memiliki hak dan kedudukan yang wajib dihormati dan dihargai, termasuk dalam relasi gender, sehingga tidak dapat dibenarkan manipulasi dan kekerasan serta stigmatisasi terhadap perempuan di mana selama ini perempuan cenderung lebih rentan disalahkan secara sepihak apabila ada kasus kejahatan seksual atau kasus lain yang terkait hal tersebut.

Itulah sebabnya kita sangat membutuhkan undanng-undang perlindungan dari kekerasan seksual. Berapa banyak lagi orang-orang yang seharusnya hidupnya cerah, bahagia, dan memberi sumbangan kepada masyarakat dan bangsa ini harus terpuruk karena mereka tidak terlindungi.

 

* Mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply