Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ramadan Bulan Peningkatan Valensi Umat Islam

×

Ramadan Bulan Peningkatan Valensi Umat Islam

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*


KHITTAH.CO, – Dalam realitas empirik jalan kesuksesan seseorang itu berbeda-beda. Berbagai penilaian seringkali hanya fokus pada variabel atau indikator tertentu, dan melupakan pandangan secara komprehensif (menyeluruh). Dan yang lebih parah ketika kesuksesan seseorang hanya diukur dari faktor eksternal, melupakan faktor internal dalam diri orang itu. Dan yang internal pun, seringkali dinilai secara parsial, tidak utuh.

Dalam perenungan dan pemahaman saya, hal di atas keliru, untuk tidak mengatakan menyesatkan. Apalagi pandangan di atas, bisa sampai pada kesimpulan yang terkesan melupakan kehadiran atas Kekuasaan dan Kasih Sayang Allah dalam kesuksesan seseorang. Dan yang patut dihindari, ketika pandangan di atas meresap ke dalam diri dan memengaruhi cara pandang diri kita untuk mencapai kesuksesan demi kesuksesan berikutnya.

Yang aneh, dan saya pun menjumpai dalam kehidupan ini, ketika yang memiliki pandangan seperti di atas, adalah orang-orang yang menurut saya sendiri tidak diragukan ibadah ritualnya kepada Allah, termasuk tidak diragukan latar belakang akademiknya. Atau ini menyimpulkan bahwa rutinitas kita beribadah dan latar belakang akademik, belum menjamin diri seseorang untuk sampai pada memiliki cara pandang yang komprehensif? Pertanyaan ini tidak untuk saya jawab.

Manusia itu unik, tidak berdimensi tunggal dan bukan robot. Manusia bukan makhluk fisik-biologis semata. Manusia juga termasuk makhluk psikologis, religious dan spiritualitas yang senantiasa terhubung dengan realitas tak terbatas: Allah. Dalam diri manusia ada banyak hal yang bersifat potensial dan itu pun aktivasinya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Bahkan tidak keliru ketika manusia dianggap sebagai mikrokosmos atau alam kecil. Realitas eksternal pun ada banyak indikator yang harus diperhatikan, dan seringkali membentuk garis relasi dengan realitas internal diri manusia, baik yang sifatnya konflik (bertentangan/berlawanan) maupun integrasi (menyatu/mendukung/harmonis).

Saya sepakat dengan Jamil Azzaini, dkk., ketika menyimpulkan bahwa, jika harus memilih satu kata yang memengaruhi kesuksesan seseorang maka kata itu adalah “valensi”. “Valensi adalah ‘takaran’ atau ‘bobot’ yang mewakili keseluruhan kapasitas diri Anda. Setiap orang memiliki valensi yang berbeda-beda. Valensi yang Anda miliki akan menentukan kualitas hasil kerja Anda dan memengaruhi tingkat sukses Anda” (Jamil Azzaini, dkk., 2009).

Meskipun defenisi Jamil, dkk., terkait valensi terkesan hanya bersifat atau fokus pada kapasitas/dimensi internal diri seseorang dan tidak mentautkan dengan realitas eksternal yang juga memiliki sejumlah indikator, nilai dan hukum, namun bagi saya secara implisit (tersirat) tetap mengakomodir realitas eksternal itu. Dalam buku Kubik Leadership karya Jamil, dkk., ditegaskan pula aspek lingkungan yang memengaruhi valensi.

Tulisan ini tidak sepenuhnya mengikuti perspektif Jamil, dkk., saya melakukan elaborasi berdasarkan hasil proses algoritmik dalam diri atas perenungan dan pemahaman dari berbagai literatur lain. Apalagi dalam tulisan ini, salah satu substansinya ingin menegaskan bahwa Ramadan adalah bulan yang mampu meningkatkan valensi umat Islam.

Valensi atau bobot kapasitas diri seseorang sudah pasti tidak hanya diukur atas ukuran tubuhnya yang besar/kecil. Ada banyak dimensi, variabel atau indikator yang terakumulasi menjadi satu untuk menentukan ukuran valensi seseorang.

Dan saya yakin tidak keliru, jika dari sekian banyak dimensi atau variabel yang menentukan valensi seseorang, ingin disederhanakan, maka jadinya adalah IESQ. Apa maksud IESQ? Yaitu: intellectual quotient (kecerdasan intelektual), emotional quotient (kecerdasan emosional), dan spiritual quotient (kecerdasan spiritual). Hal ini pun tanpa menafikan teori Multiple Intelligence-nya Howard Gardner. Termasuk tidak menafikan Social Intelligence-nya Daniel Goleman yang dikembangkannya dari Emotional Intelligence-nya.

Mengapa saya yakin dan berani menyimpulkan seperti itu? Dan di mana posisi realitas eksternal yang dari awal saya tegaskan di atas? Pertama, jika kita merenungkan secara mendalam atas berbagai pemahaman yang ada, maka tiga jenis kecerdasan yang saya maksudkan di atas, itu mampu membangun garis relasi, memahami dengan baik, menentukan, dan memutuskan atas berbagai realitas yang ada, baik internal, eksternal maupun realitas tak terbatas: Allah.

Sebelum saya menguraikan lebih jauh, terlebih dahulu saya ingin menegaskan bahwa sebenarnya pembahasan terkait kecerdasan ini, telah beberapa kali saya bahas pada tulisan-tulisan yang lainnya. Meskipun terdapat pada tulisan-tulisan yang lain, saya pun menegasakan bahwa pembahasan, substansi, dan konteksnya tidak akan sama. Jadi sifatnya saling menguatkan dan melengkapi.

Dalam pandangan atau pemahaman saya, intellectual quotient (kecerdasan intelektual) dan emotional quotient (kecerdasan emosional) berelasi dan berfungsi untuk memahami realitas eksternal: orang lain, alam semesta, temuan-temuan teknologis, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Untuk intellectual quotient dan spiritual quotient bisa berrelasi dan berfungsi untuk memahami realitas internal dan realitas tak terbatas:Allah. Bahkan untuk spiritual quotient bisa berrelasi dan berfungsi untuk memahami, memberikan dan menerima nilai dari realitas internali, eksternal, dan realitas tak terbatas: Allah.

Jika dielaborasi dan ditarik garis relevansi, ketiga kecerdasan yang saya sebutkan di atas, juga bisa ditautkan dan mendapatkan afirmasi dan aksentuasi dari teori radiasi budaya Arnold Toynbee. Toynbee menegaskan empat lapisan budaya yang memengaruhi bertahan atau tidak, dan berkembang atau tidak, suatu peradaban. Keempat lapisan itu adalah: visi dan nilai spiritual; etika; estetika; serta ilmu pengetahuan dan teknologi sains.

Saya yakin, jika pembaca menganalisa dengan serius berdasarkan pemahaman-pemahaman yang ada, maka akan sepakat bahwa betul antara empat lapisan dalam radiasi budaya Toynbee memiliki relasi, relevansi, dan korelasi dengan tiga kecerdasan di atas: IQ, EQ, dan SQ.

Peradaban modern yang identik dengan dominasi ilmu pengetahuan, teknologi sains, dan rasionalisasi (seakan) menyimpulkan bahwa yang paling menentukan kesuksesan seseorang adalah intellectual quotient (IQ). Bagi para aktivis dan/atau organisatoris mungkin akan berkesimpulan dan bahkan banyak yang berkesimpulan, bahwa kesuksesan sangat ditentukan oleh kekuatan jaringan atau kita sebut saja faktor utamanya adalah emotional quotient (EQ). Bagi agamawan, meskipun dalam penjelasan saya di atas (awal tulisan) terkesan ada yang paradoks, atau khususnya bagi yang menganut paham jabariyah apalagi neo jabariyah, kesuksesan sangat ditentukan oleh Kekuasaan dan Kasih Sayang Allah, atau untuk hal ini kita sebut saja spiritual quotient.

Pandangan-pandangan parsial di atas, tentunya kurang tepat. Ketiganya harus dikonvergensi (dipadukan) dan dikoherensi (dihubungkan dan diharmonisasi). Jadi pencapaian kesusksesan harus ditunjang oleh tiga kecerdasan. Jika seandainya harus memilih satu saja di antara tiga kecerdasan itu, maka saya akan menjatuhkan pilihan pada spiritual quotient. Bukan yang lainnya: intellectual quotient dan emotional quotient.

Mengapa saya memilih spiritual quotient, jika seandainya harus memilih satu di antara tiga? Karena saya punya keyakinan dan pemahaman bahwa: Pertama, Allah pemilik alam semesta, penguasa langit dan bumi serta segala isinya, tanpa kecuali manusia (raga, jiwa, pikiran, dan perasaan manusia). Allah memiliki Hak Prerogatif atas alam semesta ini. Jadi tanpa IQ dan EQ yang memadai, jika Allah mau tidak ada yang mustahil. Jadi bisa saja karena curhatan dan pengajuan proposal hidup seseorang melalui do’a-do’anya dalam setiap shalatnya (hal ini pun telah pernah saya bahas dalam tulisan lain), Allah mengabulkan lalu mendisposisi ke alam semesta, orang-orang yang terlibat dalam pencapaian kesuksesan untuk memberikan kemudahan jalan bagi seseorang yang dikehendaki untuk sukses oleh Allah. Secerdas apa seseorang secara intelektual dan emosional (seperti punya jaringan yang kuat), jika Allah belum meridhoi dirinya untuk sebuah harapan, maka bagi Allah tidak ada yang mustahil untuk membuktikan ketidakberdayaan manusia.

Bahkan dalam beberapa temuan ilmiah seperti skema Bobby DePorter & Mike Hernacki, menyakini bahwa kedahsyatan otak itu sangat dipengaruhi oleh suasana hati. Belum lagi adanya temuan pakar terkait adanya God Spot di otak manusia. Tanpa kecuali temuan terkait “Tuhan dalam DNA Manusia”. Banyak temuan-temuan ilmiah yang mempertegas peran kecerdasan spiritual.

Namun Allah pun Maha Adil, Allah Maha Berhitung, dan sebesar zarrah pun kebaikan hambaNya akan diperhitungkan. Bahkan Allah pun memberikan kepada manusia kehendak bebas atau kebebasan. Jadi bisa saja ada sesuatu capaian yang dimaknai “kesuksesan” padahal orang yang bersangkutan menampakkan kesan tidak memiliki spiritual quotient, sama sekali jauh dari Allah.

Mengapa itu terjadi? Karena Allah pun telah menetapkan hukum alam atau sunnatullah. Selama orang yang bersangkutan masih dalam rel hukum alam itu, tetap diberikan peluang untuk sukses, bahkan jika melawan hukum alam pun terkadang masih ada yang terkesan sukses, tetapi seringkali dalam realitas internal dirinya ada hal yang tidak harmonis. Seperti bisa kita saksikan dalam kehidupan, banyak orang terutama di negara-negara maju sukses secara material, tetapi hatinya gelisah dan akhirnya bunuh diri.

Jadi sebaik-baik pencapaian harapan atau kesuksesan adalah yang mampu memadukan dan memaksimal tiga kecerdasan di atas dalam bingkai ridho Allah. Sesungguhnya tujuan hidup adalah sukses dan bahagia, selamat dunia dan akhirat.

Substansi pertama terkait penegasan apa yang bisa dimaknai sebagai valensi, meskipun belum secara detail diuraikan, tetapi saya yakin pembaca sudah bisa memahaminya. Termasuk dalam uraian di atas sudah bisa kita temukan, urgensi dan signifikansi terkait pembahasan valensi ini.

Sebelum memasuki uraian penjelasan mengapa saya memaknai Ramadan sebagai bulan peningkatan valensi, terlebih dahulu pun saya ingin menegaskan bahwa motif perbuatan seseorang pun seringkali dipengaruhi oleh tiga hal yaitu: to have (keinginan untuk memiliki), to be (keinginan untuk menjadi sesuatu), dan to valence /valensi (segala perbuatannya dilandasi atas harapan mulia untuk memberikan manfaat sebanyak mungkin kepada orang lain, dan meningkatkan kapasitas dirinya semata-mata mengharapkan ridho Allah).

Ramadan, jika kita memahami substansi dari ibadah puasa, ibadah-ibadah lainnya, termasuk amalan-amalan yang kita lakukan seperti membaca Al-Qur’an, bersedekah, memberikan makan orang yang berpuasa, seorang perempuan yang menyiapkan kebutuhan sahur dan buka puasa, semua itu berfungsi sebagai charger (cas) untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Mengaji atau membaca Al-Qur’an yang banyak dilakukan oleh umat Islam pada bulan Ramadan, termasuk mendengarkan ceramah-ceramah di antara waktu shalat Isya dan Tarawih, itu adalah bisa dimaknai meningkatkan kecerdasan intelektual, dan bahkan menyentuh dimensi kecerdasan emosional dan spiritual.

Berbagi, bersedekah, termasuk seorang istri atau perempuan yang menyiapkan menu sahur dan buka puasa, hal itu bisa meningkatkan kecerdasan emosional yang bersentuhan pula dengan kecerdasan spiritual. Bahkan membutuhkan kecerdasan intelektual.

Yang dijelaskan pada dua alinea terakhir di atas, itu pun, dalam bulan Ramadan mendapatkan charge atau peningkatan kualitas kecerdasan spiritual karena, apa pun yang dilakukan umat Islam pada dalam bulan Ramadan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Selain itu ibadah-ibadah wajib, sunah, dan ritual lainnya sudah pasti meningkatkan kecerdasan spiritual.

Dan semoga pula, rutinitas menulis saya selama bulan Ramadan ini, setiap hari satu tulisan (minimal), mampu berada dalam ridho Allah dan meningkat tiga kecerdasan yang ada dalam diri atau meningkatkan valensi diri ini selaku umat Islam.

Jadi umat Islam, minimal satu bulan dalam setahun akan mendapatkan charge untuk peningkatan valensi dirinya yang akan berkontribusi dan memiliki korelasi positif dalam pencapaian harapan-harapan ata kesuksesan hidupnya. Dan idealnya semua ini terakumulasi pada pencapaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika belum?, maka idealnya kita semua patut melakukan instropeksi diri apa yang keliru dibalik ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadan.

Di pengujung tulisan ini, saya pun ingin menegaskan bahwa tentunya masih banyak hal yang bisa diuraikan terkait valensi. Dan selain itu, peningkatan valensi sudah pasti bukan hanya dalam bulan Ramadan. Dan idealnya bobot atau valensi yang mengalami peningkatan selama bulan Ramadan teraplikasi di luar Ramadan, atau sebelas bulan yang lainnya.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply