Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Keseimbangan Otak Kiri dan Kanan Menghadapi Tahapan Pemilu

×

Keseimbangan Otak Kiri dan Kanan Menghadapi Tahapan Pemilu

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*


Saya selaku penyelenggara pemilu, yang dalam lingkup kelembagaan KPU Kabupaten Bantaeng-Sulawesi Selatan, diberikan amanah selaku Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, seharusnya saya fokus—khususnya dalam hal menulis terkait tema kepemiluan—pada produk, telaah, dan advokasi hukum; dokumentasi dan publikasi hukum; pengawasan dan pengendalian internal; dan sejumlah hal lainnya yang telah diatur dalam peraturan tersebut.

Saya merasa—apalagi saya memiliki minat dan sejenis ketertarikan pada dimensi psikologis manusia dan ilmu neurosains—bahwa ternyata dalam menyukseskan Pemilu, tanpa kecuali dalam melaksanakan tahapan-tahapannya yang sedang berjalan dibutuhkan pula dimensi psikologis atau potensi-potensi yang telah built-in dalam diri manusia. Tidak cukup hanya dengan penguatan regulasi semata, dan dimensi teknis lainnya. Dibutuhkan pula satu aspek atau perangkat yang bisa dikategorikan sebagai humanware.

Selaku yang menangani Divisi Hukum dan Pengawasan, saya tentunya harus pula menggunakan berbagai cara yang dibenarkan, etis dan patut dalam mewujudkan kinerja optimal bagi jajaran kesekretariatan, khususnya dalam lingkup KPU Kabupaten Bantaeng. Cara-cara itu, bisa dipandang sebagai bagian dari upaya “pengendalian internal” yang menjadi leading sector khususnya bagi saya selaku ketua divisi.

Atas dasar pemahaman dan kesadaran tersebut—meskipun, saya sedang tidak memberikan tafsir terhadap PKPU Nomor 8 Tahun 2019 di atas, apalagi tugas kami di KPU Kabupaten/kota sebagai implementator—maka tidak keliru untuk memberikan sesuatu yang bisa memberikan, berkontribusi atau memiliki korelasi positif terkait optimalisasi kinerja dalam tahapan pemilu. Sesuatu yang saya maksudkan tersebut adalah “Bagaimana memahami keseimbangan otak kiri dan kanan” yang berkontribusi dan berkorelasi positif dalam menghadapi dan menjalankan tahapan pemilu.

Tahapan pemilu membutuhkan pula kinerja maksimal manusianya, selain penguatan regulasi, pemahaman teknis, dan perangkat digital. Bercermin dari proses tahapan verifikasi administrasi yang dilakukan oleh para admin dan tim verifikator SIPOL dengan kuantitas data yang diolah serta keterbatasan dan kendala teknis yang bersifat teknologis, berpotensi mengganggu dimensi psikologis. Dan saya yakin, jika mengamati secara psikologis teman-teman yang terlibat, sudah ada yang mengalami gejala psikologis, minimal merasa tertekan oleh jadwal tahapan, stress, dan lain-lain.

Para psikolog telah memahami, bahwa secara hierarkis dimensi psikologis mampu memengaruhi dimensi fisiologis manusia. Bukan sebaliknya. Kinerja fisik manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis. Terinspirasi dari Bobbi DePorter & Mike Hernacki dari bukunya Quantum Learning, saya menemukan satu pemahaman bahwa keseimbangan otak kiri dan kanan sangat dibutuhkan dalam upaya, salah satunya menjaga stamina atau kinerja agar tidak cepat merasa bosan, capek, dan stress. Minimal mencegah kondisi negatif seperti itu.

Dalam forum-forum Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) OSIS, ketika saya diundang untuk berbagi ilmu khususnya tentang “belajar efektif” dan/atau “quantum learning”, saya sering menyimulasikan dua jenis cara tukang kayu ketika sedang memalu paku. Ada tukang kayu cara memalu pakunya, tidak berirama. Ada pula, yang melahirkan suara berirama yang asyik didengar.

Jika mengikuti pandangan DePorter & Hernacki terkait fungsi otak kiri dan kanan, maka bisa dipastikan tukang kayu yang memiliki kinerja terbaik atau tinggi dengan berbagai kriterianya, itu adalah tukang kayu yang pada saat memalu paku, terdengar berirama. Mengapa lahir kesimpulan seperti itu? Bisa dipastikan tukang kayu yang kategori kedua ini—yang cara memalunya menimbulkan irama—pada saat bekerja memfungsikan otak kiri dan kanannya secara bersamaan dan seimbang.

Memalu paku yang membutuhkan tenaga itu masuk dalam ranah atau mekanisme kerja otak kiri. Sedangkan irama yang lahir karena cara memalunya yang digerakkan dengan gerakan tertentu, melahirkan perasaan menyenangkan, itu memfungsikan kinerja otak kanan. Berbeda dengan tukang kayu kategori pertama, yang cara memalunya tidak berirama, itu berpotensi hanya otak kirinya yang aktif atau berfungsi pada saat sedang bekerja.

Mekanisme kerja otak kiri itu bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sedangkan mekanisme kerja otak kanan itu bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Dari DePorter & Hernacki (2011:179) kita bisa memahami lebih jauh, mendalam dan sangat baik bahwa otak kiri secara substansial terkait logika, dan otak kanan terkait dengan emosi.

Otak kanan yang identik dengan emosi, itu mengandung atau memantik semangat, spontanitas, emosi, imajinasi, gairah, kegembiraan, dan bahkan sering kali memancarkan unsur baru baik berupa ide atau gagasan, maupun hal lainnya. Jika sahabat pembaca pernah membaca tulisan-tulisan saya terkait ESQ, termasuk yang di dalamnya mengulas mengenai kecerdasan emosi, maka akan semakin bertambah pemahamannya terkait pentingnya otak kanan termasuk dalam melakukan hal teknis.

Saya berpesan ke jajaran sekretariat KPU Kabupaten Bantaeng, terutama pada saat menjadi Pembina Apel Rutin, agar dalam bekerja jangan hanya menggunakan otak kiri, tetapi perlu diseimbngkan dengan memfungsikan dan memaksimalkan otak kanan. Dalam bekerja lakukan hal-hal yang bisa pula memfungsikan otak kanannya. Seperti, dan saya melihat khususnya admin dan tim verifikator SIPOL dalam menjalankan tugasnya pada malam hari, sambil menghibur dirinya dengan lagu dan/atau musik yang menyenangkan. Dalam keadaan seperti ini, bisa dipastikan selain otak kirinya bekerja maksimal menghadapi aplikasi SIPOL, pada saat yang bersamaan otak kanannya pun sedang bekerja maksimal.

Saya pun berharap dan sempat menyampaikan harapan ini, bahwa usahakan tim yang bekerja jauh dari perasaan tertekan. Jika merasa capek, strees atau terasa lelah, tinggalkan beberapa menit pekerjaan itu. Tenangkan diri, baik dengan berdzikir, berwudhu untuk mengaji beberapa ayat, keluar ruangan menatap langit, dan/atau ngopi beberapa menit.

Terkait hal di atas dalam buku ESQ Ary Ginanjar dijelaskan dengan baik dalam kisah nyata yang pernah dihadapinya, yang pada substansinya sedang menghadapi deadline pekerjaan. Cara terbaik yang dilakukan adalah dengan merefresh tenaga dan pikiran dengan meninggalkan ruang kerjanya beberapa menit.

Apalagi—masih inspirasi dari DePorter & Hernacki—jika memperhatikan mekanisme atau alur agar kedahsyatan otak bisa bangkit, sangat dipengaruhi oleh suasana emosi atau perasaan yang dimiliki. Jika emosi selalu positif, gembira, dan bahagia maka bisa dipastikan kinerja dan kedahsyatan otak pun akan bangkit. Selain itu, akan senantiasa memancarkan pikiran, ide, dan/atau gagasan yang cemerlang.

Jadi meskipun sederhana, dan ini hanya sedikit refleksi dalam mengamati teman-teman admin dan tim verifikator SIPOL, dan sebersit pemahaman terkait otak, maka saya yakin dengan memahami tulisan ini, sambil mengimplementasikan dalam kehidupan tanpa kecuali dalam menghadapi tahapan pemilu, itu akan berkontribusi dan berkorelasi positif. Selain regulasi, pedoman teknis, teknologi, kode etik, keseimbangan otak pun dibutuhkan dalam tahapan pemilu.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply