Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Islam Dan Ekologi

×

Islam Dan Ekologi

Share this article

1423899131

Oleh : Idham Malik*

Membincangkan Islam yang dihubungkan dengan sains, selalu memancing rasa penasaran kita. Termasuk salah satu tulisan dari dinda Mahram Mubarak yang berjudul Sains Islam Menurut Sayyed Hosein Nasser di kolom opini website Khittah, yang menyuarakan Islam berkemajuan.

Islam merupakan identitas kita, yang kita terima secara empirik dan barangkali emphati sejak kita kecil, sedangkan sains adalah tema umum dalam perkembangan kedewasaan kita, yang identik dengan pemikiran rasional dan pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan. Islam adalah perwujudan sesuatu yang bergumul dari dalam entitas kita atau biasa disebut fitrah, untuk menuju pada yang baik (virtue). Sedangkan sains adalah bentuk dari pencarian kita pada kebenaran ilmiah, yang kedua-duanya sudah terformat matang dalam jiwa.

Kali ini saya akan membahas kaitan Islam dan sains yang lebih luas, dalam artian sains adalah temuan manusia sebagai sarana hidup. Apakah Islam menginspirasi sains, atau sains mengembangkan Islam? Bisa kedua-duanya. Tapi, jika kita telusuri di awal-awal, konteks sosial dan ekonomi selalu menjadi landasan untuk turunnya ayat-ayat, lalu ayat-ayat itu pun kembali menguatkan nurani kita dengan kekayaan maknanya, lalu kemudian diturunkan lagi dalam bentuk metode untuk perbaikan kehidupan di dunia.

Ayat-ayat tersebut, karena saking lenturnya, dapat menembus ruang dan waktu. Menjadi penerang saat kita sulit, dan pemandu untuk menemukan cahaya kebaikan. Kitab sastrawi itu banyak menjadikan kisah-kisah sejarah manusia sebagai pemandu pemimpin Islam untuk membentuk masyarakat madani, di tengah dua kekuatan besar, yaitu Romawi dan Persia, yang masih bersifat konservatif feodalistik. Masyarakat madani menerapkan konsep keadilan sosial berupa kontrak sosial untuk saling tolong menolong dan menghargai kepercayaan masing-masing. Selain itu terdapat konsep baitul mal, institusi yang melakukan distribusi kekayaan yang diperoleh melalui mekanisme zakat kepada segenap warga, apalagi kaum duafa. Masyarakat madani merupakan koreksi terhadap konsep-konsep kemasyarakatan saat itu dan sebelumnya, yang terang-terangan melakukan penindasan terhadap hakekat manusia, serta tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh ummat manusia.

Untuk sebuah era yang menunjukkan tanda-tanda kejenuhan, Islam, yang terinstantiasi di dalamnya kepemimpinan dan gagasan akan kemajuan (baca : hadirnya ayat-ayat yang korektif), betul – betul merekonstruksi zaman-zaman sebelumnya, memberikan pelajaran, serta arahan akan sesuatu yang ideal. Betul jika dikatakan bahwa kitab wahyu tersebut adalah mukjizat, sebab saat itu manusia dipenuhi oleh kecurigaan, dan kedangkalan berfikir. Tampaknya, Tuhan yang Maha Abstrak itu, tidak sabar lagi melihat ketimpangan yang menguasai manusia, dimana manusia dengan imajinasi liarnya mengobrak-abrik kebenaran, memutar balik fakta, hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok-kelompok tertentu, terhadap massa manusia lainnya.

Tersebutlah dalam salah satu kisahnya yang paling popular, yakni tentang Adam sebagai manusia pertama. Betul, jika kita melihat konteks ekologi dan teknologi yang digunakan. Adam, bersama kedua putranya, telah mengembangkan pertanian dan peternakan. Berarti, jika kita hubungkan dengan penelitian-penelitian arkeologis dan sejarah manusia, menunjukkan bahwa Adam berada pada zaman modern pertama. Hal ini bisa kita telusuri dalam buku Gun, Grem, and Stell, karya Jared Diamond, bahwa zaman modern dimulai ketika sekelompok manusia di daerah Bulan Sabit Subur, Timur Tengah dengan tidak sengaja menemukan biji-bjian yang bisa dibudidayakan, serta tidak sengaja berinteraksi dengan hewan-hewan yang dapat dijinakkan (domestifikasi) dan diternakkan. Kemudian komunitas tersebut mengembangkan kultur biji-bijian dan mulai menerapkan konsep gembala pada hewan-hewan ternak.

Penemuan tersebut memacu perkembangan teknologi derivatnya, sehingga manusia akhirnya belajar menetap dalam satu kawasan, dan hanya sesekali melakukan perburuan hewan-hewan liar di dalam hutan. Manusia tidak lagi membatasi jumlah anaknya, karena anak dibutuhkan untuk mengawasi lahan-lahan yang demikian luas. Maka dengan mengikuti arus waktu, pada lokasi tersebut muncullah pemukiman pertama yang jumlah anggotanya tidak lagi dalam bentuk kelompok kecil, tapi berupa koloni-koloni. Dari kondisi material seperti itu pula lahirlah konsep masyarakat pertanian, yang mengharuskan adanya struktur kepemimpinan, untuk mengontrol jalannya pembangunan pertanian. Pemimpin, dengan sokongan pajak anggota masyarakatnya, mulai mendistribusikannya untuk pembangunan kanal-kanal, irigasi-irigasi, mulai lah muncul kelompok intelektual yang membantu pemimpin dan masyarakat untuk mengembangkan teknologi pertanian. Kelompok intelektual ini tidak berprofesi bertani, tapi sebagai pembelajar yang punya banyak waktu luang, sehingga dari orang-orang seperti ini memungkinkan lahirnya pemikiran-pemikiran abstrak, baik itu filsafat, budaya, dan ilmu tata sosial dan politik.

Dalam kondisi seperti itu, agama pun menjadi sesuatu yang penting, dan mulai dilegalkan oleh pemerintah. Agama, yang ada konsep Tuhan di dalamnya, kian dalam masuk ke alam psikologis para petani. Tuhan dianggap penentu untuk keberhasilan sebuah lahan, dimana manusia berada diantara harap cemas akan masa depan, di tengah kondisi musim, ancaman kekeringan dan hama. Agama pun dipolitisasi oleh para pemimpin, sebagai bius agar rakyatnya tetap semangat bekerja mengolah lahannya.

Dalam konteks seperti itulah, barangkali Adam menemukan Tuhannya, ataukah Tuhan mencipta manusia yang dapat memikirkan hakikat ketuhanan. Adam menemukan tuhan, dengan rasio akal murninya, yang bukan lagi dengan menyembah pohon, batu atau gunung, seperti kepercayaan-kepercayaan generasi sebelumnya atau komunitas manusia yang belum mengembangkan pertanian, tapi menyembah Tuhan yang Maha Kuasa, yang menguasai alam semesta. Adam barangkali menemukannya seperti Newton menemukan teori gravitasi. Peristiwa jatuhnya apel membuka kesadarannya akan adanya suatu hukum alam, yang disebut gravitasi. Meski pada dasarnya gravitasi sudah ada sejak adanya massa di alam raya ini. Berarti, Tuhan dan keteraturannya, sudah ada sebelum Adam (bersifat intransitive: dapat ada dengan atau tanpa pengetahuan manusia), hanya saja membutuhkan syarat-syarat tertentu, agar pemikiran akan keberadaan tuhan betul-betul dapat terwujud.

Manusia sebelum Adam, dianggap adalah mahluk yang belum sempurna, dalam artian belum memiliki kesadaran akan ketuhanan. Secara material, manusia sebelum era Adam, adalah manusia berburu, yang kesadarannya betul – betul terpaku pada lingkungan sekitarnya dan belum mampu melintas batas kesadaran ruang hidup yang melingkupinya.

Kita kembali lagi, bagaimana Islam dan Ekologi berkelindan cantik. Salah satu ajaran inti dalam Islam adalah sedekah, yaitu memberikan sebagian dari yang kita punya kepada manusia lain ataupun kepada alam. Semua entitas di alam ini, baik material maupun mahluk hidup, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat paling kompleks, adalah berupaya menyumbangkan sesuatu yang berharga dari dirinya kepada mahluk lain. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Khusnul Yaqin, ahli Toksikologi dari Universitas Hasanuddin, bahwa mahluk yang paling tinggi tingkat ketaatannya dalam hal sedekah adalah bakteri. Bakteri merupakan mahluk decomposer (pengurai) yang berada pada alas terbawah dalam rantai makanan. Lantaran aktivitas bakteri ini, maka memungkinkan berkembangnya lapisan – lapisan mahluk di atasnya, yaitu produsen seperti biji-bijian, konsumen pertama, konsumen kedua, hingga konsumen puncak, yang lapisan teratasnya adalah manusia, yang merupakan mahluk yang dapat mengkonsumsi semua lapisan, serta punya tingkat kesadaran tertinggi. Lantaran dapat mengkonsumsi secara materil semua tingkatan, manusia pun harus bisa mengamalkan setiap kebaikan yang ditonjolkan pada masing-masing lapisan.

Demikianlah sedikit uraian yang cenderung bersifat cocoklogi, tapi dengan cocoklogi seperti ini, kita yakin bahwa kesadaran kita sedang bekerja dan berupaya untuk tidak menghianatinya.

*Penulis adalah Kader IPM Kabupaten Maros dan Penggiat Literasi Kota Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL