Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Dalam Sesobek Tulisan

×

Dalam Sesobek Tulisan

Share this article

saifuddin

Oleh : Saifuddin Almughniy

Sebuah cita dan cinta memang terkadang sulit menyatu dalam satu ruang. Sebab keduanya sama-sama berada dalam kubangan imajinasi, menggapainya tidak mudah, membutuhkan kerja pikiran, khayalan, mimpi, karena keduanya tak”berbenda” bersifat abstrak. Ya, cita yang harus digapai dengan power knowledge, sementara cinta lebih pada insting dan rasa atas kekaguman serta kepemilikan sesuatu yang indah, namun keduanya dapat menyatu dalam ruang dan waktu yang sama.

Bagiku, sesederhana apapun niat itu harus tercermin dalam bingkai cita. Walau memang sedikit berat karena keterjebakan kita pada ritme yang meliuk di realitas kita. Cita dan cinta tentu harus menjadi perekat menghadirkan kepekaan sosial. Sebagaimana statement Marx yang berpendapat, keadaan sosial yang membentuk kesadaran sosial.

Dan hal ini sesungguhnya yang menginspirasi buat saya untuk terus merespon segala fenomena yang terjadi. Bukan hanya sekedar menghadirkan kesadaran sosial tetapi yang terpenting adalah bagaimana seharusnya melakukan sebuah upaya transformasi, sebab menjadi “penulis” bukan memilih jalan bertapa (ber-uzlah) tetapi ia harus membumi dan selalu hadir dalam ruang yang tak berpihak.

Karenanya efhosteisme (kegelisahan sosial) adalah satu penyakit psikologis yang bernilai positif bila diterjemahkan dalam ruang yang kritis positif dan edukatif. Namun perlu satu hasrat mengiringinya untuk kemudian apa yang kita transformasikan bermuatan nilai dan pengetahuan, ya, itulah keberanian. Sebab, satu kalimat itu adalah karya, keberanian adalah supporting menghadirkan pencerahan.

Di tahun 1999 saat terlibat dalam pergerakan mahasiswa yang mengusung tagline gerakan SULAWESI MERDEKA bersama sahabat seperjuangan Iswari Alfarisi (UNM), Atto Soeharto (UIN), Adnan Nasution (Unhas), Munir (unismuh), disitu kegelisahan sosial itu memuncak, bagaimana Isabell Peron misalnya di Argentina melawan junta militer dengan barisan civil society dan media sebagai kekuatannya. Saya berfikir, pergerakan tidak cukup dengan kekuatan massa yang massif, tak cukup dengan suara megafhone, dan tidak cukup dengan anarkhisme, tetapi perlu perlawanan dengan cara lain yaitu dengan menulis.

Saat itu, dengan keterbatasan yang ada mulailah meracik kata, merangkai kalimat dengan gaya yang sedikit demonstratif, Pedoman Rakyat dan Inti Berita menjadi ruang untuk mendistribusikan pikiran “nakal” dalam melihat realitas (saat itu). Banyak hal memang yang tidak tuntas untuk ditulis, tetapi saya sudah punya keberanian untuk itu. Dan tulisan pertama muncul adalah “Negara Tanpa Rakyat” tulisan ini begitu dimuat dikoran saya secara emosional mengkopinya sebanyak mungkin dan saya bagi ke teman kuliah, dosen dan teman aktifis saat itu. Tapi itu hanya sekedar tulisan yang tak ter-eja, miskin analisis, tapi minimal saya sudah punya keberanian, tetapi bagaimana dengan anda ?

Sebab, kegelisahan yang cerdas akan melahirkan karya, bukan karena kecerdasan yang berhenti dipapan tulis. Perkara budaya menulis seringkali menjadi tidak diminati, padahal didalamnya mengandung “unsur” atmosfer yang menggerakkan naluri Keadaan secara tekstual cenderung membenarkan diri sendiri sesuai obyek yang dibaca, tetapi keadaan secara kontekstual lazimnya tak terbaca karena lebih pada penguatan teks-teks yang ada.

Perumpamaan menulis, sama halnya ketika kita hendak meminum kopi, secara teks kopi itu pahit dan hitam, tetapi kenapa hampir semua orang ingin menikmatinya. Ada gula dan susu sebagai pelarut “pekatnya kopi”, tapi bukan sekedar racikan itu yang membuat tegukan itu terasa nikmat, tetapi naratif prosesnya yang begitu apik. Begitulah sejatinya menulis, seseorang baru tahu realitas itu ketika ia menceburkan diri dalam proses dimana ia berada. Sebab, menulis itu seseorang akan memahami apa yang ditulisnya, yang belum tentu orang lain memilikinya. Penulis, teks dan realitas adalah mata rantai yang tak bisa dipisahkan, karena menyatu dalam kuali yang meleburkan kalimat menjadi makna. Sebab “keberanian” bukanlah badik atau sekedar nyali, tetapi keberanian harus menjadi keharusan “aqliyah” yang nantinya mentransendensikan nilai tulisan.

Apa yang di kritisi banyak orang tentang “narcisme” terhadap simbol strata sosial seperti gelar, pangkat, kekuasaan adalah satu bentuk “kematian” bila itu hanya disandarkan pada materialisme. Bukankah dalam sejarah pengetahuan manusia bahwa kebenaran tidak cukup dikunyah, tetapi harus dimuntahkan.Fsn satu cara untuk melakukan itu adalah menulis.

Jadilah pelukis zaman, sebab keindahannya bukan pada tampilan warnanya tapi ada pada lekukan pikirannya itulah penulis. (tapi aku bukan penulis, saifuddin al mughniy)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL