Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi (Alumi PPs Hukum UMI Makassar)
KHITTAH.co – Pasca Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi kemasyarakatan (disingkat Perppu Ormas) banyak memantik kontroversi di berbagai kalangan.
Paling banyak disoroti dari Perppu Ormas, ialah dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa dalam penetapannya. Tulisan ini kemudian bukan mengkaji dan menganalisis syarat subjektif maupun syarat objektif kepentingan memaksanya, sebab yang demikian hanya akan terbukti dengan prinsip check and balance oleh anggota DPR, saat mana dilakukan pembahasan substansi dari Perppu tersebut.
Ada permasalahan lain dalam Perppu Ormas, jarang diperdebatkan atau mungkin dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu: ketentuan pidananya yang dapat menyasar bukan hanya pengurus, tetapi juga anggota baik yang terlibat aktif maupun yang tidak terlibat aktif akan terjerat dengan pidana penjara. Hukuman penjaranya tidak main-main, seberat-beratnya bisa seumur hidup, dan seringan-ringannya paling singkat 5 tahun s.d. 20 tahun.
Pidana Ormas
Setidak-tidaknya ada tiga masalah pokok yang keliru dari ketentuan pidana dalam Perppu Ormas ini. Pertama, mengenai siapa atau lembaga yang mana berwenang untuk menentukan suatu Ormas terbukti menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila; Kedua, berniat saja untuk menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila telah terkualifikasi sebagai perbuatan pidana; Ketiga, perihal semua corak kesengajaan dapat menjadi unsur tindak pidana yang memungkinkan untuk menjerat bagi Ormas, setiap pengurus dan anggota Ormas, karena menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila.
Perubahan ketentuan yang paling mendasar dari Perppu Ormas, ialah ditambahkannya penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila bukan hanya ajaran ateisme, komunisme/marxisme, leninisme, tetapi termasuk juga “paham lain” yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD NRI 1945.
Apa yang dimaksud paham lain? selain termin hukum yang demikian mengandung kekaburan, juga membuka pintu amat lebar bagi siapa saja untuk dengan gampang menafsirkan, bahwa suatu ajaran tertentu misalnya telah memenuhi unsur sebagai “paham lain” yang bertentangan dengan Pancasila. Hal demikian tidak dibenarkan dalam formulasi ketentuan pidana karena bertentangan dengan asas hukum, bahwa rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa) dan asas hukum, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat (nullum crimen nulla poena sine lege sticta).
Hal lain lagi, yang akan menimbulkan permasalahan hukum dari ketentuan tersebut, yaitu tidak jelasnya siapa yang berwenang memberikan kesimpulan kalau suatu Ormas telah bertentangan dengan Pancasila karena menganut “paham lain.” Apakah pemerintah (dalam hal ini Presiden)? Apakah Menteri Hukum dan HAM? Apakah Kepolisian, Kejaksaan, hingga Majelis Hakim Pengadilan dalam fungsinya sebagai criminal justice system yang akan membuktikan melalui vonis inkra? Semuanya serba tidak jelas. Jika kita berkaca pada kasus pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sepertinya menunggu dahulu pencabutan status badan hukum suatu Ormas, kemudian penyelidik/penyidik, penuntut, dan majelis hakim untuk memproses secara hukum (due process of law) setiap pengurus dan anggota ormas tersebut. Pun cara yang demikian, atas nama pemerintah mencabut status badan hukum suatu Ormas, sebenarnya tidak dibenarkan sebab bertentangan dengan cara perampasan suatu hak (kebebasan menyatakan pendapat, berorganisasi), yang seharusnya perlu diawali oleh putusan pengadilan inkra.
Lanjut dari pada itu, Pasal 59 ayat 4 junto Pasal 82 A ayat 2 junto penjelasan Pasal 82 A ayat 1 Perppu Ormas, sangat memungkinkan pula bagi pengurus dan anggota Ormas cukup hanya dengan “berniat” menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila sudah dapat dipidana.
Hal ini dapat diperhatikan dari penjelasan Pasal 82 A ayat 1 Perppu Ormas yang menyatakan “yang dimaksud dengan sengaja adalah “adanya niat” atau kesengajaan dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk kesengajaan telah nyata dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan dari adanya percobaan, pembantuan, atau pemukatan jahat.
Dalam ketentuan tersebut, unsur niat berdiri sendiri, disamping unsur kesengajaan. Artinya, memungkinkan orang baru berniat saja, sudah dapat di pidana. Padahal suatu niat sama sekali tidak dapat dipidana. Jangankan berniat yang tidak dapat dipidana, seorang berpikir saja tentang suatu hal sangat tidak dibenarkan untuk dipidana (cogitationis poenam nemo patitur).
Niat dan sengaja oleh para pakar hukum pidana memang ditempatkan sebagai unsur tindak pidana yang dapat berdiri sendiri (Moeljatno, 1978:21, Pompe, 1959 :206, Eddy O.S. Hiariej, 2016: 336). Namun dapat dipidanya suatu niat, tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu-satunya unsur tindak pidana. Suatu niat hanya dapat dipidana jika sudah ditunaikan dalam tindakan. Hal ini sejalan dengan asas hukum, niat seseorang tercermin pada perbuatannya (intention mea imponit nomen operi meo) dan asas hukum, niat sama artinya dengan fakta yang telah ada (vuluntas reputabitur pro facto).
Corak Kesengajaan
Dalam Perppu tersebut, Ormas, pengurus dan anggota-anggotanya juga dipandang sama dalam hal tiga corak kesengajaan, yaitu: sengaja dengan maksud, sengaja dengan sadar kepastian, dan sengaja dengan sadar kemungkinan, masing-masing dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Kiranya suatu hal yang keliru, lagi tidak berdasar rasio hukum, ketika tiga corak kesengajaan itu diberlakukan sama dan sederajat kepada setiap anggota, pengurus, dan ormasnya sendiri. Padahal ketiga corak kesengajaan tersebut memiliki perbedaan yang prinsipil dan sangat bergantung pada kasus perkasus. (Abdul Chair Ramadhan: 2017)
Saya menduga, Perppu Ormas ini sengaja ditetapkan oleh pemerintah untuk menjerat secara serampangan bagi siapa saja yang mencoba-coba menentang Pancasila. Jauh lebih gampang menjerat pelaku yang menantang Pancasila, dari pada pelaku makar. Dalam tindak pidana makar masih perlu dibuktikan unsur “permulaan pelaksanaanya” sedangkan dalam tindak pidana yang terkait dengan penentangan Pancasila, sudah cukup dengan unsur “persiapan perbuatan,” bahkan dengan terpenuhinya “unsur niat” saja seseorang dapat diseret ke meja hijau, dan hukuman bui setinggi-tingginya seumur hidup, dan serendah-rendahnya hukuman penjara antara 5 sd. 20 tahun. Ngeri..!!!(Dmg)
Sumber: Tribun Timur