Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Tarjih

Hukum Onani Menurut Tarjih Muhammadiyah

×

Hukum Onani Menurut Tarjih Muhammadiyah

Share this article

KHITTAH.co,- Pernahkah ada di antara Anda yang bertanya-tanya, sebenarnya, bagaimana hukum melakukan onani? Berikut ini ulasannya yang disarikan dari Jawaban Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah.

Pertama, harus dipahami dahulu, bahwa onani (istimnâ’) atau masturbasi bagi perempuan adalah perilaku mengeluarkan mani tidak melalui jalan persetubuhan, biasanya dengan telapak tangan atau dengan cara lainnya.

Definisi ini merujuk pada Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65. Menurut MTT PP Muhammadiyah, berdasarkan penjelasan dalam kitab-kitab fikih, onani dipahami sebagai tindakan mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja.

Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangan sendiri, tangan istri, atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.

Terkait hukum onani, para ulama Fikih berbeda pendapat sehingga terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya.

Argumentasi kelompok yang mengharamkan onani ini adalah Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).

Menurut ulama-ulama tersebut, pelaku onani dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan.

Allah berfirman:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]

Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah. Para ulama ini berpendapat ada kondisi yang membuat onani wajib dilakukan, namun tetap ada kondisi juga yang mengharamkannya.

Para ulama tersebut mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani. Hal sesuai dengan kaidah fikih:

إِرْتِكَابُ أَََخَفِّ الضَّرَرَيْنِ.

Artinya: “Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada)”.

Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.

Kelompok ketiga, kalangan ulama mazhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri atau budak wanita. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani.

Jadi, perlu digarisbawahi, ada kelompok ulama yang mengharamkan onani dalam kondisi apapun, namun ada pula yang membolehkannya bergantung suatu kondisi.

Selain itu, sejumlah pendapat dari sahabat, tabi’in, dan ulama lainnya  seperti Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm, Ibnu Abbas ra., dan al-Hassan juga perlu ditilik.

Ibnu Abbas r.a. dan al-Hassan berpendapat bahwa onani boleh dilakukan. Sementara itu, Abdulah bin Umar ra. dan Atha’ memakruhkannya.

Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa. Ini karena Ibnu Hazm berpedoman pada hukum seseorang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya, ynag hukumnya mubah sesuai kesepakatan ulama.

Karena itu, jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengaja mengeluarkan mani. Ini berdasarkan Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426. Oleh sebab itu, hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah:

Artinya: “… sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu …” [QS. al-An’âm (6): 119].

Ayat ini tidak menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana firman Allah:

Artinya:“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …” [QS. al-Baqarah (2): 29].

Pendapat MTT PP Muhammadiyah

Berdasarkan sejumlah pendapat ulama dan sahabat tersebut, MTT PP Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum onani adalah makruh.

Hal tersebut karena perilaku onani cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Meski demikian, menurut MTT, dalam kondisi tertentu, perilaku onani dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus.

Menurut MTT PP Muhammadiyah, kondisi tertentu itu antara lain, seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya.

Dikabarkan, bahwa para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. 

Kondisi yang juga dibolehkan adalah ketika seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut), di mana dalam keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam Shahih Muslim kitab al-Haidh (646):

حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ … إِلَى آخِرِ الآيَةِ. (البقرة الآية: 222) فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. [رواه مسلم]

Artinya: “Telah menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa  (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu, lalu turun ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2): 222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” [HR. Muslim]

Selain itu, bagi mereka yang membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal Allah berfirman:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. al-Isra’ (17): 32]

Selain itu, dari segi kesehatan, onani atau masturbasi yang terlalu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, hal tersebut dapat menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran).

Onani yang terlalu sering juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi, 1931:198-199).

Wallaahu a’lam bishshawwab

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply