KHITTAH.CO, Makassar- Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan, KH Jalaluddin Sanusi mengingatkan, kader terlebih pimpinan Persyarikatan seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat.
Ia mencontohkan terkait pelaksanaan takziah. Kader dan Pimpinan Muhammadiyah yang paham terkait takziah seharusnya tidak lagi menyelenggarakan model yang sebenarnya tidak sesuai.
“Soal takziah ini sebenarnya sudah pernah kita tarjihkan di musyawarah wilayah, ketika Pak Mamur Ali Ketua Tarjih saya sekretaris yang merangkap Ketua Majelis Tarjih Kota Makassar, sekitar 1986. Ada tujuh kali kita musywil Tarjih waktu itu,” ungkap Kiai Jalal.
Ia mengungkapkan, hingga kini, praktik takziah masyarakat masih harus diluruskan. Karena itu, ia menegaskan kembali hasil musyawarah MTT PWM Sulsel di Ta’mirul Masajid Makassar, 1986.
“Warga dan pimpinan Persyarikatan yang seharusnya sudah paham, sebenarnya tidak usah lagi melakukan itu (takziah), tapi bagi masyarakat umum yang masih perlu pembinaan dan didakwahi, kita bisa lakukan itu,” kata dia.
Takziah yang dilakukan saat ini, kata Kiai Jalal, cenderung hanya untuk membuat lelucon. Padahal, seharusnya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan atau dipesankan kepada keluarga atau umat, misalnya terkait hukum waris.
“Hampir tidak ada yang menyampaikan terkait apa yang harus dilakukan sesudah kematian, misalnya terkait warisan yang justru itu banyak tidak diketahui orang dan menimbulkan permasalahan, maka justru itu yang harus dibicarakan. Kita lihat banyak persaudaraan, keluarga yang retak, berselisih karena warisan,” ujar Kiai Jalal.
Bahkan, kata dia, mubalig Muhammadiyah juga jarang menyampaikan terkait warisan ini. “Tapi bagaimana mereka mau menyampaikan, mereka sendiri tidak paham?” kata dia.
Inilah yang harus segera diperbaiki. Karena itu, dirinya berharap, para mubalig dan kader Tarjih Muhammadiyah Sulsel dapat melibatkan diri memperdalam terkait hukum warisan dan masalah lain yang masih sering keliru di masyarakat.
“Memang ada lembaga pengadilan agama yang mengurus ini, tapi sifatnya delik aduan. Kalau tidak ada yang mengadu, tidak ada juga tindakan. Itulah sebab saya pernah juga mengusulkan di Munas Tarjih ketika diselenggarakan di Makassar, saya mengusulkan dibentuk majelis atau lembaga islah,” ungkap dia.
Lembaga Islah ini bertugas untuk menjadi penengah jika terjadi perselisihan terkait warisan atau hal lain. “Karena kalau dibawa ke pengadilan, orang bilang, menang jadi arang, kalah jadi abu,” ujar dia.
Ia menegaskan, kader, mubalig, dan pimpinan Muhammadiyah seharusnya bisa menjadi solusi terkait hal itu. “Seharusnya kan kita bisa menjadi pengubah, menggantikan hal-hal yang mengarah kepada kerugian dengan yang sesuai tuntunan agama. Tradisi-tradisi yang tidak sesuai, kita ganti. Terkait dengan lembaga islah atau mediasi, masyarakat akan mendapat banyak manfaat atas permasalahan, perselisihan mereka kalau kita sediakan yang seperti ini.”
Lebih dalam Soal Takziah
Ia mengingatkan, masyarakat awam hanyalah konsumen, karena itu, para mubaliglah yang juga harus diperbaiki sudut pandang dan pengetahuannya terkait takziah.
Ia mencontohkan, ketika ulama Muhammadiyah KH Bakri Wachid wafat, keluarga tidak menggelar takziah sebagaimana yang biasanya dilaksanakan khalayak. Hal ini karena Kiai Bakri telah berpesan sebelumnya.
“Karena itu, pejabat-pejabat, masyarakat yang datang, hanya datang saja, salaman, lalu pulang. Tidak ada kumpul-kumpul. Begitu memang seharusnya, seperti di Barat, yang sepertinya malah lebih islami dari kita.”
Soal makan-makan di rumah duka, Kiai Jalal menggarisbawahi, sebenarnya yang disoalkan bukan makanannya, melainkan pembangunan suasananya.
“Ijtima ulama itu mengatakan, kumpul-kumpul di rumah orang mati, kemudian dibuatkan makanan, digolongkan termasuk perbuatan meratap. Padahal, meratap jelas dilarang, jadi bukan soal makannya,” jelas Kiai Jalal.
Ia menegaskan, bahkan sebenarnya, tidak ada hubungan antara makanan dengan anjuran tidak menggelar takziah seperti kini. Makanan itu, selama halal, tidak ada masalah.
“Misalnya, di Pesantren Ummul Mu’minin
Di situ ada Kuburan Baqi. Kalau ada orang Muhammadiyah dimakamkan di situ, itu kita panggil pengantarnya masuk ke pesantren untuk makan. Jadi bukan soal makannya, tetapi membangun suasananya, semacam kenduri, sementara orang berduka, itulah yang perlu diarahkan sesuai syariat.”
Bahkan, Imam Syafii menyebut yang seperti itu makruh. Imam Syafii menyarankan lebih baik melakukan pekerjaan lain yang mendatangkan manfaat lebih.
“Karena kan sebenarnya juga tidak ada dalil yang bisa dijadikan landasan terkait takziah yang kita panggil ustaz untuk ceramahi orang kumpul-kumpul. Praktik yang dicontohkan Nabi itu, Beliau hanya menitipkan pesan atau paling-paling memberikan surat,” tutup Kiai Jalal.