Oleh: Hadisaputra
Pada tulisan sebelumnya (Lihat: Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis), saya telah menguraikan secara umum garis-garis besar Buku Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis, karya Ayu Utami. Kali ini saya akan menguraikan tentang ‘orisinalitas dan otentisitas’ dan ‘kompas batin’. Kedua topik tersebut saya anggap sebagai software menulis kreatif yang ditawarkan Ayu.
Orisinalitas dan Otentisitas
“Otentisitas adalah kesesuaian atau keaslian bentuk luar terhadap inti atau dalam dirinya”, sedangkan “Orisinalitas adalah keaslian karena belum pernah dilakukan orang lain” (Utami, 2015:132).
Jika orisinalitas lebih dikaitkan dengan dimensi eksterior sebuah karya, atau aspek kebaruan sebuah karya dibanding karya lainnya, maka otentistas lebih berkaitan dengan aspek interior. Kesesuaian sebuah karya dengan struktur batin kita. Otentisitas mencegah kita dari sikap “asal beda”. Pada bentuk luar, bisa saja orang lain menganggap karya kita belum orisinal, namun selama kita konsisten dengan otentisitas, orisinalitas akan lahir dengan sendirinya. Saya menerjemahkan otentisitas sebagai “kebaruan batin”, sedangkan orisinalitas sebagai “kebaruan fisik”. Ayu Utami memberikan poin lima untuk otentisitas, dan hanya dua poin untuk orisinalitas. Nampaknya Ayu sedang mengasosiasikan dirinya sebagai filsuf Islam, yang menekankan dimensi ruhiyah, dibanding dimensi lahiriah. (Atau mungkin ia sedang membayangkan dirinya menjadi juri kontes “Dangdut Akademi”, hehehe.)
Saya setuju dengan pandangan ini. Saya memiliki beberapa orang teman, yang belajar menulis dengan gaya Goenawan Mohammad. Awalnya, mereka terkesan meniru. Seiring dengan waktu, karena mereka menulis sesuatu yang otentik, mereka menemukan gaya mereka sendiri. Meskipun kesan “gaya Goen” belum sepenuhnya hilang.
Untuk menemukan orisinalitas, yang lebih berorientasi eksterior, kita harus mampu memetakan diri dalam hubungannya dengan dunia luar. Ayu Utami memberikan alat bantu pertanyaan untuk memandu kita menunjukkan orisinalitas. Pertanyaan tersebut, antara lain:
- Siapakah aku bagi pembaca?
- Apa yang dibutuhkan orang? Apa yang dibutuhkan orang sekarang atau sepanjang masa?
- Apa yang bisa kutawarkan kepada pembaca?
- Apa yang sudah banyak di masyarakat, apa yang kurang, apa yang masih diinginkan? Dan seterusnya.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ayu Utami hanya menjelaskan poin pertama. Pertanyaan “Siapakah aku bagi pembaca?” tidak dimaksudkan untuk membuat para calon penulis/ pemula merasa minder. Bahkan jika kita merasa hanya “orang biasa” sebagaimana orang lain pada umumnya, itu berarti kita mampu menulis hal-hal yang menjadi minat orang pada umumnya.
Kompas Batin
Lalu bagaimana caranya menulis secara otentik? Ayu memperkenalkan perkakas yang disebut dengan “kompas batin”. Sepanjang membaca buku karya Ayu Utami ini, saya menemukan kesukaannnya menciptakan istilah-istilah baru. ‘Kompas Batin’ adalah salah satu istilah tersebut. Ayu memaknai ‘kompas batin’ sebagai pemandu arah bagi seorang penulis, sebagaimana halnya seorang nakhoda atau traveler, yang juga membutuhkan pemandu, baik berupa kompas ataupun GPS.
Kompas batin dapat dipahami dengan mudah dengan melihat gambar berikut:
Gambar diatas juga mengingatkan saya pada sejumlah buku-buku tentang belajar, yang menguraikan tentang karakteristik otak kanan dan otak kiri. Jika saya membuat sebuah sintesa, otak kiri berhubungan dengan hal-hal yang penting dalam sebuah karya, sedangkan otak kanan digunakan dalam menghasilkan hal yang menarik dalam berkarya.
Apa kriteria sebuah karya disebut penting? Bagaimana ciri-ciri sebuah karya yang menarik? Kriteria sebuah karya yang “penting”, bagi Ayu, adalah karya yang sifatnya abstrak (bisa merumuskan kebenaran yang “tinggi”), universal (penting dan menyeluruh), obyektif (terukur), general (menyangkut kepentingan umum), dan logis (masuk akal). Sedangkan kriteria sebuah karya yang “menarik” yaitu bersifat konkret (ada dalam kenyataan), partikular (memberi tempat pada hal yang kecil), subyektif (menyuarakan batin), spesial (lain dari yang lain), dan puitis (berbahasa indah).
Sebelum lanjut, Gambar 1 di atas juga terdapat kata “penulis” dan “pengarang”. Kesan saya, penulis itu lebih sering menulis sesuatu yang “penting”, sedangkan pengarang lebih berorientasi pada hal-hal yang “menarik”. Saya sempat bingung dengan pembedaan tersebut. Jawabannya secara eksplisit baru saya temukan di halaman 55 buku ini. “Penulis adalah kerja profesional. Pengarang adalah kerja seniman. Itu dua himpunan yang berbeda, meski bisa saja beririsan,” kata Ayu Utami.
Seorang penulis, lanjutnya, “menjual” keterampilannya untuk pihak lain, sejauh tidak menyalahi etika dan kemanusiaan, misalnya sebagai wartawan, penulis iklan, penulis naskah sinetron, biografer, dll. Intinya, penulis menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan. Berbeda dengan pengarang, yang mengerjakan karyanya sendiri. Ia lebih bebas daripada orang yang menulis untuk orang lain. Namun, bisa saja seorang pengarang, ketika ingin menerbitkan karyanya di sebuah penerbitan, harus menyesuaikan karyanya dengan keinginan penerbit, agar dapat lebih diterima pasar.
Meski “penulis” lebih dituntut menulis sesuatu yang “penting”, namun menyertakan hal-hal “menarik” dalam karyanya akan membuatnya lebih “menggigit”. Misalnya, tulisan feature di surat kabar, atau majalah, bisa memiliki nilai jual tersendiri. Demikian pula sebaliknya, seorang “pengarang” yang lebih banyak mengksplorasi hal-hal yang “menarik”, tidak bisa serta merta mengabaikan unsur-unsur yang “penting”. Sebutlah, seorang pengarang novel, meski lebih mengandalkan imajinasi dan unsur subyektifitas, namun tetap perlu memperhatikan kelogisan cerita, atau membuat deskripsi yang obyektif.
Menurut Ayu Utami, sebuah karya yang kuat adalah yang PENTING sekaligus MENARIK. Lalu bagaimana menurut saya? Secara normatif, saya setuju dengan pendapat tersebut. Namun dalam kenyataan, sulit menemukan penulis yang mampu memadukan keduanya secara seimbang. Seseorang yang berlatar belakang pendidikan ilmu eksakta, mungkin lebih menyukai deretan angka, tabel, atau diagram, dibandingkan narasi yang panjang. Berlama-lama membaca narasi mereka anggap “wasting time”. Sebaliknya, seseorang yang berlatar belakang ilmu sosial dan humaniora lebih menyukai narasi, dibanding angka-angka statistik. Angka-angka, bagi yang berlatar belakang ilmu ini, cenderung mereduksi realitas yang kompleks, dan “memiskinkan” kemanusiaan.
Tentu saja masih bisa kita temukan penulis yang mampu memadukan sifat “penting” dan “menarik” dalam karya-karyanya. Namun saya yakin, jumlahnya tidak banyak. Paling tidak, Ayu Utami telah memberikan petunjuk untuk menjadi penulis/pengarang yang “ideal”.
Dalam ungkapan lain, karya yang “penting” adalah yang faktual, sedangkan karya “menarik” adalah karya yang fiksional. Sebuah karya yang bagus adalah “fakta yang fiksional, dan fiksi yang faktual”. Mungkin itulah yang membuat karya fiksi Pramoedya Ananta Toer terasa hidup, karena karyanya sesungguhnya adalah “fakta” yang dituliskan dalam bentuk “fiksi”. Sama halnya dengan beberapa karya fiksi di era Orde Baru, dianggap “fakta”, karena mendukung kepentingan kekuasaan.
Tulisan selanjutnya (bagian 3) akan menguraikan tentang “Lemari Ide”, sebagaimana telah saya janjikan pada tulisan sebelumnya. Sabar ya…