KHITTAH.CO – Persoalan tahlilan yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakat kita termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan oleh para ‘ulama. Bagi mereka yang melaksanakan tahlilan, mereka beranggapan ada tuntunan dari agama, disamakan dengan doa. Mereka itu berpendapat bahwa dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki ijtihad. Bagi mereka yang membolehkan tahlilan untuk menguatkan alasannya, mereka telah menyusun sebuah buku yang diberi nama “Simpanan Berharga”, yang disusun oleh H.M. Syarwani Abdan.
Muhammadiyah sesuai dengan manhaj yang dipergunakan dalam menetapkan sesuatu hukum berpendapat bahwa dalam bidang ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah Ash-Shahihah (al-Maqbulah). Menurut kami, doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus / sempit. Doa itu bukan budaya seperti yang dipahami sebagian orang.
Di dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 37 – 38 diterangkan bahwa manusia itu memperoleh apa yang diusahakannya. Di dalam hadis riwayat Muslim dikatakan, apabila seseorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya terkecuali tiga perkara, yaitu doa anaknya yang saleh, sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat.
Selanjutnya dalam surat al-Hasyr ayat 10 diterangkan yang maksudnya bahwa amalan orang lain bisa sampai kepada orang yang meninggal dunia yaitu doa dan istighfar. Hal itu dijelaskan pula dalam hadis riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan juga di dalam hadis riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan.
Imam Malik dan Imam asy-Syafii sendiri dan banyak ualama lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis :
“Oleh karena hal inilah, Rasulullah s.a.w. tidak menganjurkan umatnya untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati, baik dengan perintah tegas maupun yang tidak tegas. Dan tidak pula oleh sahabatnya yang mengerjakan demikian itu.
Kalau menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati adalah suatu kebajikan, tentulah sahabat-sahabat Nabi s.a.w. telah mengerjakannya”. Sekian kita kutip penjelasan al-Hafidz Ibnu Katsir, yang kitab tafsirnya dipelajari di dalam masyarakat kita.
Diterangkan oleh pengarang kitab Bidayatul Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd : “Sesungguhnya letak perbedaan pendapat di antara ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin dari golongan Malikiyah, yaitu selama bacaan itu tidak keluar dari koridor tempat doa, agar pembaca membaca sebelum bacaan (al-Qur’an) itu; Ya Allah, jadikanlah pahala yang aku baca ini untuk si fulan …”.
Dari kutipan nampak jelas tahlil dianalogikan dengan doa. Di samping itu, harus dibedakan antara berdoa dengan menghadiahkan pahala lewat doa. Menghadiahkan pahala lewat doa tidak ada tuntunannya.
(Sumber: fatwatarjih.com)