KHITTAH.CO – Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…, Alinea ke-empat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 merupakan resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat berdasarkan situasi awal kemerdekaan. Pada masa awal-awal kemerdekaan resultantenya adalah keadaan negara yang masih tertatih-tatih membentuk suatu sistem pemerintahan dan ketakutan terhadap ancaman agresi militer belanda.
Maka makna melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia pada saat itu berarti bagaimana menjaga dan melindungi setiap nyawa dari ancaman belanda dan keberlangsungan pemerintahan. Dalam sejarah amendemen UUD NRI 1945 telah menjadi kesepakatan bahwa pada bagian pembukaan tidak akan dilakukan perubahan, ini memberikan makna bahwa naskah UUD pada bagian pembukaan adalah naskah asli yang belum mengalami perubahan.
Pakar konstitusi K.C. Where memberikan pandangan bahwa konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Maka pemaknaan konstitusi harus sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini, disini dapatlah dimaknai dalam konsteks ancaman bangsa maka makna Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia tentunya adalah ancaman pandemi Covid-19, bukan kebutuhan kepala daerah yang menjadi ancaman saat ini.
Kemudian Siapa yang melindungi, tentunya adalah negara melalui lembaga-lembaga negara, karena mereka yang telah dipercaya oleh masyarakat diberikan segala fasilitas yang dibutuhkan, uang, tentara, polisi dan segala yang dibutuhkan telah diberikan oleh rakyat. Segala fasilitas telah disiapkan tentunya digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Walau pun terkadang digunakan untuk tujuan pribadinya. Inilah juga yang terjadi saat situasi kedaruratan kesehatan masyarakat seperti saat ini, yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah adalah penanganan pandemi covid-19, tetapi kehilangan fokus dalam pelaksanakan tahapan PILKADA serentak. Pelaksanaan tahapan pilkada serentak yang berpotensi menjadi klaster baru penularan Covid-19. Hal ini tentunya tidak dapat dihindari karena dalam pelaksanaan pilkada yang menjadi pikiran utama para calon kepala daerah adalah bagaimana merebut kekuasaan itu.
Calon kepala daerah dan Pandemi Covid-19 saat ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama menunjukkann eksistensinya seperti bertarung elektabilitas, jadi saat ini saingan berat calon kepala daerah sebenarnya adalah Covid-19. Pilkada serentak yang akan di gelar di 270 daerah. Jumlah tersebut terdiri dari pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan wali kota dan wakil wali kota, dan pemilihan bupati dan wakil bupati. Calon kepala daerah tentunya dalam keadaan terpaksa harus menunjukkan dirinya, menggalang dukungan, menularkan harapan dan mengjangkit dengan janji politik, serta membentuk kerumunan-kerumunan massa.
Sementara pandemi Covid-19 tidak mengenal Pilkada, tidak mengenal ketua KPU, tidak mengenal komisioner KPU, tidak mengenal calon gubernur, calon wali kota maupun calon bupati. Semuanya sama dihadapan Covid-19, yang membedakan adalah orang patuh dan taat pada protokol kesehatan. saat ini terjadi kebijakan yang saling bertentangan, disamping Pemerintah terus melakukan edukasi jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan. Tetapi pemerintah juga memberikan ruang untuk membuka terjadinya klaster baru penularan yaitu akibat pelaksanaan pilkada serentak. Melihat peningkatan kasus terinfeksi dan kematian akibat covid-19 yang setiap harinya mengalami peningkatan hal ini mengisyaratkan bahwa penularan dan penyebaran covid-19 masih terus terjadi di masyarakat.
Melihat realitas tahapan pilkada yang telah berjalan, saat pendafataran calon misalkan, calon kepala daerah dikawal oleh ribuan pendukungnya yang tentunya dalam keadaan demikian membentuk kerumunan massa yang memperbesar potensi penularan covid-19 kemudian diperparah dengan diabaikannya protokol kesehatan.
Dalam teori bentuk kesengajaan pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi covid-19 ini telah diketahui kemungkinan akibat yang akan terjadi yaitu klaster pilkada. Klaster pilkada yaitu penyebaran dan penularan covid-19 dalam jumlah besar pada waktu yang hampir bersamaan sebagai akibat dari pelaksanaan tahapan pilkada.
Hal ini tentunya harus dihindari, karena pada hakikatnya pilkada merupakan pesta merayakan daulat rakyat memilih pemimpin lima tahun kedepan di daerah yang disambut dengan suka cita, akan tetapi pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi covid-19 memiliki potensi besar menjadi duka cita rakyat di daerah. Jika tahapan pilkada terus dilanjutkan dan peningkatan jumlah kasus terinfeksi dan kematian akibat covid-19 juga meningkat secara signifikan dalam masa tahapan pilkada saat ini. Maka ketakutan yang sedang dihadapi adalah telah terjadi rencana pembunuhan massal akibat dari ambisi oligarki politik, mengapa demikian karena akibat dari pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi telah dapat diketahui kemungkinan yang terjadi, telah direncanakan.
Tahapan Pilkada dapat dipastikan akan terus dilanjutkan, kecuali pemangku kebijakan lebih mementingkan keselamatan warga negara dibandingkan kepentingan politik. Penundaan pelaksanaan pilkada sampai keadaan pandemi Covid-19 berakhir menjadi pilihan. Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2021 vaksin covid-19 sudah dapat digunakan, apa salahnya menunggu vaksin tersebut tersedia barulah tahapan pilkada dilanjutkan dengan terlebih dahulu mengeluarkan Perpu yang mengatur penundaan pilkada ke tahun 2021 atau melakukan uji konstitusionalitas di mahkamah konstitusi. Alasan melanjutkan untuk menjaga kestabilan politik di daerah karena tidak ada kepala daerah definitif menjadi alasan yang tidak dapat diterima, Tidak ada urgensi kebutuhan kepala daerah definitif saat pandemi covid-19 seperti ini.
Melindungi keselamatan rakyat pada masa pandemi inilah yang menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi, kebutuhan kesehatan menjadi utama. Menjaga kestabilan pemerintahan di daerah bagi daerah yang telah habis masa jabatan kepala daerahnya telah disiapkan solusinya yaitu mengangkat pejabat gubernur, bupati/walikota berdasarkan ketentuan pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10 Tahun 2016. Sebenarnya tidak ada masalah hukum disini, yang ada adalah masalah kepentingan oligarki politik yang berambisi mengamankan kekuasaan dan kekuatan politik dengan mempertaruhkan keselamatan nyawa warganya. Maka penundaan pelaksanaan pilkada serentak haruslah dilakukan untuk kemaslahatan rakyat banyak.
Penulis adalah Ketua Umum IMM Hukum Universitas Hasanuddin.