Oleh: Muhammad Chirzin
Berikut tanggapan terhadap opini Azyumardi Azra dalam Realitarakyat 2021/10/21 11:02 yang diunggah di WAG PROFESOR PTKIN pada tanggal yang sama.
Cendekiawan muslim Azyumardi Azra menepis tudingan yang menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) islamofobia. Menurutnya, pemerintahan Jokowi tak mungkin islamofobia.
Mulanya, Azyumardi mengaku ia dan Menko Polhukam Mahfud MD pernah digugat mengenai rezim Jokowi yang dinilai islamofobia. Ia kemudian mengatakan tudingan itu tidak mungkin karena Jokowi terus membangun Universitas Islam Negeri (UIN).
“Saya tentu saja enggak setuju, kalau ada islamofobia, nggak ada tuh UIN, bahkan Pak Jokowi saja nambah UIN kemarin 6, ya enggak mungkin itu,” kata Azyumardi dalam forum peluncuran buku yang digelar DPP PPP secara virtual, Rabu (20/10) malam. Saat ini, terdapat 23 UIN di seluruh Indonesia.
Penulis sepakat dengan tepisan Azyumardi Azra atas tudingan yang menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) islamofobia. Tetapi penulis tidak ragu untuk mengatakan bahwa ada di antara para pembantu dan pendukung Jokowi yang fobi terhadap Islam. Hal ini antara lain tampak pada sikap dan tindakan diskriminatif terhadap ormas, kelompok-kelompok orang Islam, maupun kepada figur muslim tertentu.
Misalnya, pembubaran organisasi FPI, adanya aparat keamanan yang memblokade pergerakan umat Islam menuju Jakarta dalam rangka silaturahmi nasional yang dikenal dengan Forum 212. Menurut informasi yang beredar luas, bahwa perusahaan-perusahaan angkutan umum, termasuk bus, diinstruksikan oleh pihak aparat untuk berjanji carteran ke Jakarta menjelang hari H.
Pihak aparat keamanan juga mencegat armada bus dan lain-lain yang bergerak menuju Jakarta. Hal itu dibuktikan oleh rombongan dari Tasikmalaya yang memilih keputusan heroik melakukan longmarch menuju Jakarta. Rombongan itu bahkan diikuti oleh sejumlah anak-anak mewakili bapaknya yang tidak mampu mengikuti longmarch tersebut. Mereka pun dielu-elukan oleh umat sepanjang jalan, dan mendapat dukungan moril berupa pekik takbir, dan dukungan materiil berupa makanan dan minuman, serta tempat berteduh saat hujan turun.
Wajar bila Menko Polhukam Mahfud MD digugat mengenai rezim Jokowi yang dinilai islamofobia, karena dia dapat disebut sebagai orang paling bertanggung jawab terhadap peristiwa yang berbuntut pemenjaraan Habib Rizieq Syihab. Selaku Menkopolhukam Mahfud MD tutup mata terhadap tindakan tebang pilih dan perlakuan tidak adil kepada HRS yang dituduh menyebabkan terjadinya kerumunan, dan juga laporan bahwa HRS telah melakukan kebohongan ketika mengatakan, “Saya sehat”, saat dirawat di RS Ummi.
Mengapa pihak-pihak lain yang sengaja atau tidak sengaja membuat kerumunan, yaitu anak kandung dan menantu Jokowi pada momentum Pilkada, tidak ditindak oleh aparat keamanan? Bahkan Jokowi sendiri beberapa kali menyebabkan kerumunan, karena dia membagi-bagi bingkisan dengan melemparkan dari dalam mobil, baik melalui atap maupun jendela. Termasuk tanggung jawab Menkopolhukan untuk menuntaskan kasus pembunuhan 6 laskar FPI di tol KM50. Mengapa Mahfud MD memilih diam seribu bahasa atas kasus tetsebut, termasuk membiarkan fasilitas rest area KM50 yang diratakan dengan tanah, serta pengadilan atas kasus tersebut yang baru saja digelar, dan dinilai oleh beberapa pengamat sebagai peradilan sandiwara dan tipu-tipu belaka.
Menurutnya, tidak terdapat satupun negara Islam di dunia yang memiliki universitas Islam negeri sebanyak Indonesia. “Jadi bagaimana mau menuduh pemerintah kita ini sebagai islamofobia? Enggak mungkin,” tutur Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Bahwa pada era Jokowi pemerintah telah menambah jumlah Universitas Islam Negeri itu diakui, tetapi tidak serta merta hal itu menjadi bukti tidak adanya Islamofobia dalam pemerintahan Jokowi.
Menurut Azyumardi terdapat beberapa faktor yang membuat hubungan antara pemerintah dan negara dengan sebagian umat Islam masih saja mengalami ketegangan. Salah satunya adalah karena banyak dari umat Islam yang memegang prinsip minna dan minhum (bagian dari kita dan bagian dari mereka). “Jadi walaupun Pak Mahfud jelas tokoh kita, wakil kita tapi tidak dianggap sebagai wakil kita, itu minhum dan selalu digugat itu,” jelas Azyumardi.
Secara pribadi penulis mengakui bahwa Mahfud MD adalah orang yang berpengetahuan luas dan mendalam. Hal itu terbukti dari sejumlah video rekaman ceramahnya sebelum dia bergabung dengan rezim ini. Namun setelah dia bergabung dengan rezim ini sikap dan kata-katanya berkebalikan. Sebagian teman menengarainya sebagai qaul qadim dan qaul jadid (kata-kata versi lama dan kata-kata versi baru).
Azyumardi mengaku sering mengkritik prinsip tersebut. Sebab, menurutnya, orang yang memegang prinsip itu memiliki mentalitas terkepung. Salah satu dampak dari mentalitas ini adalah mudah menuduh kriminalisasi ulama. Padahal, hanya terdapat beberapa tokoh agama yang terjerat perkara kriminal namun digeneralisasi oleh orang-orang itu. “Jadi mentalitasnya itu mentalitas orang terkepung. Apa-apa saja dilakukan itu yaitu tadi dengan mudah menuduh kriminalisasi ulama misalnya, ulama mana? Paling kan satu dua tiga atau empat orang,” tuturnya.
Perlakuan yang tidak semestinya kepada seorang ulama pun tidak boleh terjadi. Yang ada justru perlakuan semena-mena kepada ulama yang ditunjukkan oleh rezim ini, yakni kepada HRS dan beberapa kerabat yang ikut bertindak sebagai panitia perhelatan pernikahan anaknya. Juga kepada Ustadz Nur Sugik dan lain-lain. Sementara itu orang-orang yang termasuk buzzer penguasa, yakni Ade Armando, Abu Janda, Denny Siregar dan kawan-kawan, walaupun melakukan penistaan terhadap ulama maupun tokoh lain yang beroposisi dengan penguasa, tidak dilakukan tindakan apa pun. Jokowi tentu tidak suka dengan peristiwa penganiayaan terhadap sejumlah ulama, ustadz, atau aktivis masjid oleh orang-orang yang dinyatakan gila, tapi mengapa hal itu terus-menerus terjadi? Adakah penumpang gelap dalam tubuh pemerintahan Jokowi? Wallahu a’lam!
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber ilustrasi: Republika