Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Sukses Sejak dalam Pikiran

×

Sukses Sejak dalam Pikiran

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Impian atau harapan besar setiap manusia jika diklasifikasikan dalam skala yang lebih besar hanya bermuara pada term “sukses”, selain “bahagia”. Oleh Allah, manusia diciptakan dengan di dalamnya telah built-in satu paket penciptaan-Nya, berupa software dan hardware yang berfungsi dan bermanfaat dalam mengarungi hidup untuk menggapai impian-impian tersebut.

Manusia diutus di muka bumi, baik untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah maupun sebagai hamba, tidak “dilepas” begitu saja, meskipun manusia memiliki “kehendak bebas”. Manusia selain dilengkapi kedua perangkat tersebut di atas, juga telah ter-install dalam dirinya “pengetahuan tentang segala sesuatu”.

Manusia atau pun diri kita seringkali lupa terhadap potensi tersebut, bahkan tidak sedikit yang lupa pada sang pencipta potensi tersebut, Allah. Dalam tulisan ini, saya bermaksud, minimal memperkenalkan potensi dahsyat yang bisa kita gunakan dalam mengarungi hidup untuk menggapai impian.

“Sukses Sejak dalam Pikiran”, mungkin adalah salah satu frasa atau pun refleksi yang jarang kita dengar dan/atau membacanya. Hal ini, saya pun secara pribadi terbersit begitu saja―beberapa tahun yang lalu―meskipun saya sadari bahwa ini pasti adalah refleksi dari hasil pembacaan berbagai literatur dan pengalaman empirik.

Frasa di atas, setelah saya mencoba searching di “om google”, ternyata bukan saya sendiri yang pernah menggunakannya, ada beberapa meskipun tidak banyak. Yang lazim kita dengar dan membacanya, khususnya bagi aktivis adalah frasa “adil sejak dalam pikiran”. Bagi saya pribadi, frasa ini sejenis intuisi, terbersit begitu saja dan memantik inspirasi, tanpa pernah sebelumnya membaca atau mendengarnya. Tetapi mungkin kehadirannya dalam diri saya, mengalami sejenis proses memetika dalam perspektif Eko Wijayanto (2013).

Saya tidak bermaksud untuk fokus pada pembahasan asal usul refleksi saya tersebut, termasuk tentang teori memetics Eko. Saya ingin berbagi inspirasi, atau sederhananya satu tips sukses yang telah saya praktikkan dalam hidup ini. Dan mengantarkan pada perubahan hidup pada satu tumpuan “batu besar” yang menjadi titik loncatan menuju impian besar berikutnya. Salah satunya, orang tidak berkata lagi “ah, kamu hanya teori saja”. Teori-teori tersebut telah saya praktikkan dan buktikan kedahsyatannya. Saya sedikit “sedih” kepada orang-orang, jika ada argumentasinya yang seakan bermuara pada kesimpulan bahwa teori atau ilmu itu tidak penting, yang utama adalah praksis atau amal.

**

Sukses sejak dalam pikiran, dengan berbagai literatur yang saya pahami, memiliki urgensi, signifikansi dan bahkan implikasi yang besar untuk mencapai sebuah impian. Hal sebaliknya dan seringkali tidak disadari, kita “gagal” karena sejak dari awal dalam pikiran dan perasaan, telah terbersit sekumpulan premis bahkan ada proposisi “negatif” sebelum perjuangan atau pun pertarungan dimulai.

Dalam ilmu management kita sering mendengar dan membaca “gagal dalam perencanaan sama saja merencanakan kegagalan”. Hanya saja, hal ini seringkali dimaknai pada dimensi prosedural-operasionalistik semata. Tidak sampai dalam dimensi pikiran. Hanya berkutat pada catatan perencanaan secara tertulis. Atau pun makna “misi” yang dipahami untuk mencapai “visi” hanya sebatas hal teknis atau tertulis dalam―sejenis―program kerja.

Sukses sejak dalam pikiran, bukan hanya berdimensi “visi” yang sifatnya abstrak, tetapi idealnya berdimensi “misi” yang bersifat non teknis. Jadi selain visi sekaligus sebagai misi―dalam makna yang kedua dan tidak lazim ini.

Berdasarkan pemahaman saya dari dua jilid buku karya Erbe Sentanu, “Quantum Ikhlas”. Antara diri kita (si pemilik impian ‘sukses’) dan objek (benda atau sesuatu yang diimpikan) itu berada dalam dimensi―jika meminjam perspektif fisika―”fisika newton”, sehingga memiliki jarak yang cukup jauh meskipun dalam pandangan “mata kepala” atau kasat mata, itu dilihat secara nyata. Dan dalam tulisan ini, itu berarti masih sulit dicapai dan bisa saja sampai pada titik “gagal” sebagai antitesa dari “sukses”.

Sukses sejak dalam pikiran, itu berarti bukan hanya menyentuh atau berada pada dimensi “fisika newton” tetapi lebih daripada itu atau melampaui dari itu, kita membangun dan bergerak pada dimensi “fisika quantum”. Memang terasa sangat abstrak, tetapi sesungguhnya dalam dimensi ini, antara subjek (orang yang berpikir tentang kesuksesan) dengan objek (sesuatu yang dipikirkan untuk dicapai) sangat dekat bahkan tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, berada dalam dimensi “energi vibrasi” yang sama.

Ilustrasi sederhananya dan sebagai contoh, ketika kita ingin sukses memiliki “mobil”. Antara “mobil” dan “orang yang berharap” mungkin dalam kategori dimensi “fisika newton” itu terasa dekat, bisa dilihat langsung secara nyata. Tetapi sesungguhnya itu masih sangat jauh, bahkan bisa gagal untuk mencapainya. Dan sebaliknya dalam kategori dimensi “fisika quantum” antara “pikiran kita” dan “bagian terdalam mobil itu”, berada dalam dimensi “energi vibrasi” yang sama.

Hal di atas bisa dipahami bahwa mobil berarti adalah benda, di dalam benda ada molekul; dalam molekul ada atom; dalam atom ada partikel; dalam partikel ada quanta; dan dalam quanta ada energi vibrasi. Dalam pemahaman fisika quantum, energi vibrasi pada benda, atau sebagai contoh mobil tersebut berada dalam dimensi yang sama dengan pikiran apatah lagi perasaan kita. Dan itu menyatu tanpa ada batas.

Setelah melewati bagian uraian di atas, mungkin ada pembaca berkata, bertanya dan terkesan “menantang”. Apakah penulis atau kita semua bisa berpikir untuk memiliki mobil mewah atau rumah mewah atau jadi presiden, dan kelak akan terwujud? Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak”. Jawaban “tidak” dalam pengertian bisa jadi pikiran kita sendiri belum sampai atau bahkan justru kita sendiri tidak meyakini (meragukan) pikiran-pikiran itu. Jadi berpikir di sini, bukan sekadar berpikir “biasa”, “sesaat”, “sepintas”, tetapi ada akumulasi termasuk akumulasi pikiran-pikiran yang diyakini. Ini dalam pemahaman saya bisa disebut “mindset”.

Dari hal ini pulalah saya memperoleh percikapan jawaban ketika ada yang bertanya dan “menantang”, “Apakah Allah, Tuhanmu yang kau yakini maha kuasa, bisa mengabulkan do’amu seketika setelah engkau berdo’a, sebagai contoh meminta mobil?” Jawaban saya, Allah, Tuhan saya bisa saja melakukan hal itu, dan baginya tidak ada yang mustahil. Tetapi permasalahannya kemudian, apakah dirimu, pikiranmu bisa menerima, “tidak kaget yang bisa saja menimbulkan kematian”, jika engkau melihat Allah mengabulkan do’a saya seperti itu? Saya yakin Anda tidak mampu melihat cara Allah mengabulkan do’a seperti tiu. Apatah lagi, Allah tetap “mengedepankan” hal rasional dan logis, agar otak sebagai ciptaan-Nya dan berbagai ilmu rasionalitas yang termasuk sumber utamanya dari-Nya, tidak sia-sia.

Dari hal tersebut di atas, saya memahami bahwa hal itulah yang bisa menjadi pijakan psikologis dan teologis dari karya besar, buku “The Magic of Thinking Big” (yang diindonesiakan menjadi: Berpikir dan Berjiwa Besar)-nya David J. Schwartz. Jadi pikiran-pikiran kita pula harus besar. Mustahil kita akan menggapai “sukses besar” jika pikiran kita kecil, hanya suka memikirkan gosip, cerita-cerita dangkal dari film/sinetron, berita-berita kecelakaan, peristiwa-peristiwa sehari-hari yang remeh, tanpa pernah dan konsisten untuk menginjeksi diri kita dengan pikiran-pikiran besar.

***

Secara filosofis sebuah do’a atau pun impian belum terwujud, bukan berarti Allah tidak mengabulkan, apatah lagi tidak mau, tetapi bisa saja Allah mengetahui bahwa diri kita belum mampu menerimanya. Jangan pernah bermimpi mendapatkan rezeki/kesuksesan sebesar “ember” (sekadar contoh perumpamaan) jika diri kita, pikiran-pikiran kita, dan jiwa kita barulah sebesar “gelas/cangkir”. Allah senantiasa mengetahui secara tepat dan proporsional hal terbaik, porsi dan versi rezeki atau kesuksesan untuk hamba-Nya saat ini.

Sukses sejak dalam pikiran, itu memiliki garis relevansi, dengan perspektif sang maestro motivator muslim dunia dari Mesir, Ibrahim Elfiky. Ibrahim menegaskan “Apa yang kau alami hari ini, adalah hasil dari pikiran-pikiran sebelumnya. Dan apa yang kelak kau alami, adalah hasil pikiran hari ini”.

Sejak tahun 2010, ada banyak hal dan saya catatkan dalam pikiran, selain dalam buku catatan pribadi saya. Salah satunya adalah “mobil”. Saya pahatkan dalam bentuk goresan pikiran. Di alam mental nampak nyata “mobil” itu. Begitu pun menjadi Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, sejak kurang lebih enam tahun sebelum mendaftar untuk ikut seleksi sebagai calon anggota KPU Kabupaten Bantaeng, hal itu telah terlihat nyata dalam pikiran, bahkan di jalan pun seringkali teringat.

 

 

Ini relevan dengan pesan sang maestro motivator muslim dunia, Ibrahim―yang jika saya interpretasi ulang―kurang lebih penegasannya “jika engkau ingin menjadi penulis, maka jadikanlah aktivitas menulis atau pikiran sebagai penulis yang akan mengalir dalam setiap napas hidupmu. Sebelum tidur bahkan ketika sebelum bangun dari tidur, hanya ada pikiran ‘sebagai penulis itu’ dalam dirimu”. Sejenis hal ini yang saya amalkan sebelum memiliki bukunya dan membaca pesan Ibrahim tersebut.

Alhamdulillah, mobil dan menjadi Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng itu telah terwujud dalam hidup ini. Ini berawal dari pikiran-pikiran. Menggapai semua itu dalam pikiran jauh sebelum saya benar-benar memperjuangkan dan mengusahakannya untuk mencapainya di alam nyata.

****

Ada pun hal menarik lainnya, dan ini adalah bagian daripada prinsip “sukses sejak dalam pikiran”, meskipun saya sendiri terlambat menyadari. Ternyata prinsip ini, bisa pula bertransformasi terus memancarkan frekuensi dan sampai pada―jika meminjam hukum kekekalan energi dalam ilmu fisika ‘energi tidak diciptakan dan dimusnakah, energi hanya bisa berubah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lainnya’―berubah dalam bentuk energi, spirit dan nilai lain. Pada saat itu, tepatnya tanggal 25 September 2017 dengan diawali berbagai kronologi kejadian yang menginspirasi saya menuliskan, salah satu penggalan tulisan tersebut, “Apakah saya nanti dilantik sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng pada tanggal 25 September 2018?”

Seiring perjalanan waktu, tepat satu tahun kemudian pasca menuliskan dalam pikiran dan dalam buku catatan pribadi saya, Allah membuktikan keajaiban dan kebenarannya firman-Nya. Tepat pada tanggal 25 September 2018―sebagaimana saya tuliskan satu tahun sebelumnya―saya dilantik menjadi Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, seorang diri dari Kabupaten Bantaeng, 4 orang lainnya, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng dilantik pada tanggal 24 September 2018. Idealnya kami dilantik berlima secara bersama, tetapi suatu kondisi, saya batal dilantik bahkan terkesan di mata orang lain, saya akan gagal selamanya.

Pembatalan itu, di mata orang lain, secara manusiawi sudah pasti dipahami sebagai bentuk kegagalan. Tidak sedikit orang-orang yang mengenal saya, air matanya mengiringi kisah dan informasi tersebut. Tetapi bagi saya seorang diri, masih yakin dan bahkan meyakinkan dua teman Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng lainnya, bahwa Insya Allah, saya masih akan dilantik besok, ternyata takdir itu telah saya tulisakan dalam pikiran dan buku catatan pribadi saya (sambil memperlihatkan buku catatan saya, yang tanpa sengaja juga, ikut terbawa ke dalam tas yang saya ke Jakarta).

Jadi apa yang dimaknai sebagai kegagalan itu di mata orang lain atas informasi mengenai diri saya, itu hanya cara/scenario Allah menunjukkan dan membuktikan tentang kebenaran “sukses sejak dalam pikiran”, termasuk tentang firman Allah sendiri dalam QS. Al-Anfal, ayat 17 “…dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar…”. Bisa jadi pada saat itu, saya yang menulis, tetapi sesungguhnya Allah-lah yang menulis.

Sukses sejak dalam pikiran, saya pun menarik garis relevansi dengan “niat” sebagai sesuatu yang sangat urgen dalam ajaran Islam. Saya harus menarik garis relevansi ini, untuk kembali menegaskan agar apa yang ada dalam pikiran-pikiran kita, termasuk tentang impian, kesuksesan adalah sesuatu yang berada dalam bingkai “ridho Allah”.

Sukses sejak dalam pikiran, jika merujuk pada cara pandang Rhenald Kasali, relevan dengan apa yang dimaknai olehnya sebagai “to see”, (melihat sesuatu, termasuk impian itu di alam mental jauh sebelum hal itu dicapai bahkan sebelum pertama kali melangkahkan diri secara jasadiyah menuju ke hal tersebut). Bahkan bagi Rhenald, seringkali perubahan, change gagal dilakukan salah satunya karena failure to see (gagal melihat). Jadi kesuksesan atau jenis kesuksesan yang kita impikan  harus dilihat lebih awal di alam mental. Ini pun sering saya pesankan kepada kader-kader IRM/IPM termasuk para pengurus OSIS yang ikut LDK, bahwa cita-cita itu harus dilihat sejak dini, dan bahkan usahakan setiap hari melihatnya secara jelas di alam mental. Jangan nanti ketika selesai sarjana, setelah ada pendaftara sesuai impian itu, lalu kita fokus menyiapkan persiapan teknis dan melupakan modal psikologis ini.

Dalam kearifan Bugis-Makassar pun―entah siapa duluan yang menemukan prinsip yang sama apakah orang Bugis Makassar, Ibrahim Elfiky atau Rhenald Kasali―”cini’ memangmi kalennu ambattu ritampak ero’ka nubattui, ampa assuluku battu riballanu” (lihatlah diri kita sudah sampai ke tujuan barulah kita mulai langkah kaki pertama keluar dari rumah). Pesan ini dalam kearifan Bugis-Makassar dipercaya sebagai pesan yang memiliki kedahsyatan untuk membentengi diri terutama dalam medan perang. Beberapa masa sebelumnya untuk mendapatkan pesan ini, harus diperoleh dalam prosesi khusus dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.

Tidak berhenti hanya sampai pada pikiran, tetapi butuh komitmen dan konsistensi sikap dan perilaku untuk terus dilakukan agar menjadi kebiasaan, setelah menjadi kebiasaan jangan berhenti sampai menjadi karakter. Setelah menjadi karakter, kelak akan bermuara pada pencapaian nasib kehidupan.

Sukses sejak dalam pikiran, tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada hal yang tetap perlu terus dijaga agar prinsip ini dalam mekanisme bekerja dalam hukum law of attraction, Sunnatullah Allah. Dan saya pun harus menegaskan bahwa Sukses sejak dalam pikiran, tetapi harus menghadirkan kesadaran akan kekuasaan Allah. Tidak boleh melupakan kehadiran Allah karena otak, pikiran, jiwa, mekanisme dan hukum yang bekerja termasuk sunnatullah itu sendiri adalah ciptaan Allah. Dan Allah dengan kekuasaannya bisa hadir kapan saja untuk memberikan intervensi atau hukum dan mekanisme tersebut, sebagai kita bisa pahami dari sejarah kegagalan raja Namrud membakar nabi Ibrahim. Padahal sunnatulah api adalah bisa membakar Ibrahim AS.

Sebenarnya tulisan ini masih bisa ditarik garis relevansi dengan servo sebuah mekanisme kerja yang berjalan otomatis seperti rudal buatan manusia. Dan mekanisme servo tersebut telah saya saya buktikan dengan mencatat tanggal pelantikan saya sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng tepat dan persis sama, satu tahun sebelumnya. Servo relevan dengan reinterpretasi QS. Al-Anfal ayat 17 di atas. Insya Allah pada kesempatan lain, dengan tulisan yang berbeda, saya akan membahas khusus tentang servo.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Sumber Ilustrasi: kembalikan.org

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply