KHITTAH.co- Di layar kaca, kita mungkin sudah kerap menyaksikan publik figur yang mengenakan penutup kepala dengan rambut palsu (wig).
Bahkan, di beberapa media, wig penutup rambut itu disebut sebagai “hijab nyentrik”. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum penggunaan “hijab” yang menyerupai rambut tersebut?
Berikut ini ulasan Khittah.co yang dikutip dari Suara Muhammadiyah Rubrik Tanya Jawab yang diasuh oleh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah.
Menurut Divisi Fatwa (MTT), secara bahasa, kata hijab berasal dari fi’il sulatsi mujarrad dengan wazan ح-ج-ب (ha-ja-ba).
Mengutip Ibnu Faris, di dalam “Mu‘jam Maqayis al-Lughah”, kata ‘hijab ‘diartikan sebagai ‘al-man‘u= penghalang’ (Ibn Faris, II: 143). Karena itu, jika dikatakan “hajabahu ‘an kadza”, maksudnya adalah “mana’ahu ‘anhu’ yang artinya adalah ‘menghalangi darinya atau sesuatu’.
Sementara itu, Ibnu Manzhur di dalam “Lisan al-Arab” mengartikan kata tersebut dengan ‘as-satru’ yang berarti ‘penutup/pelindung’. Jika disebutkan “hajaba as-syai’u” berarti dimaksudkan ‘satarahu’ yang berarti ‘menutupinya’ (Ibn Manzur, I: 298).
Secara linguistik, jelas Divisi Tarjih MTT, dua makna tersebut sangat berkaitan erat dengan makna hijab secara istilah.
Hal ini seperti yang disebutkan dalam kitab “al-Mausu’ah’ al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XVII: 5-8″ yang berbunyi “hijab al-mar’ah adalah as-satir alladzi sutira bihi jasaduhu, wa fihi hailulatun ‘an a’yun an-nazhirin min ar-rijal ghairi maharimiha.”
Artinya, penutup yang dipergunakan untuk menutup –aurat- tubuh perempuan yang berfungsi sebagai penghalang pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.
Lebih lanjut, Divisi Fatwa MTT PP Muhammadiyah menerangkan, sebenarnya, terkait “hijab” dan jilbab, telah dibahas pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah 18 dan 19 tahun ke-88/2003.
Dalam bahasan tersebut disebutkan bahwa jilbab, berasal dari kata ‘jalbaba’ yang berarti ‘memakai baju kurung’. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini.
Dijelaskan bahwa sebagian ulama mengartikannya baju kurung, sedangkan ulama lain mengartikan jilbab sebagai baju perempuan yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada.
Sementra itu, Al-Asy’ary berpendapat bahwa jilbab ialah baju yang dapat menutupi seluruh badan. Di sisi lain, ulama lain berpendapat, jilbab ialah kerudung perempuan yang dapat menutupi kepala, dada, punggung (Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, di bawah arti ‘jalaba’).
Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah (al-Qasimy, XIII: 4908). Sementara itu, menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan (al-Qurtuby, VI: 5325).
Berdasarkan urain tersebut, Divisi Fatwa MTT PP Muhammadiyah mengambil kesimpulan bahwa hijab yang dimaksud di sini adalah ‘hijab al-mar’ah’ yang berarti pakaian yang menutup aurat perempuan. Ini, menurut Divisi Fatwa MTT, sama artinya dengan jilbab, yaitu baju kurung yang menutup seluruh badan (aurat).
MTT PP Muhammadiyah menegaskan, menutup aurat dengan hijab atau jilbab ,agar terhindar dari pandangan orang yang bukan mahram, hukumnya adalah wajib bagi setiap perempuan yang telah balig. Hal ini berdasarkan firman Allah swt,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا [الأحزاب، ٣٣ :٥٩].
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. al-Ahzab (33): 59].
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور، ٢٤ :٣١].
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkkan perhiasannnya (auratnya), kecuali yang terbiasa terlihat, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya atau auratnya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam mereka), atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu semua kepda Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung” [QS. an-Nuur [24]: 31].
Sementara itu, tentang ayat وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ yang berarti “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka”, Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa hendaklah kerudung dibuat lebar hingga menutupi dadanya.
Hal ini untuk menutupi bagian tubuh di bawahnya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model perempuan jahiliyyah.
Diterangkan pula, kata الخُمْرُ adalah bentuk jamak dari خِمَارٌ , yaitu kain yang digunakan untuk menutupi kepala. Kain itulah yang oleh orang banyak disebut kerudung.
Hal ini, ungkap MTT PP Muhammadiyah, senada dengan yang ada dalam buku “Tanya Jawab Agama Jilid IV Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadyah”. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa memakai kerudung yang baik adalah sebagaimana disebutkan di dalam surah an-Nuur ayat 31.
Nah, sebelum membahas terkait hukum wig sebagai hijab atau jilbab, penting untuk membincang terkait wig terlebih dahulu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah rambut tiruan (rambut buatan, rambut palsu) sebagai penutup kepala.
Wig yang umum digunakan oleh para perempuan, pada dasarnya ada dua macam, yaitu rambut manusia asli dan rambut tiruan dari bahan sintesis.
Sementara itu, wig dari rambut manusia asli ada tiga jenis, yaitu pertama remy hair/rambut remi yang 100% rambut manusia, tanpa diwarnai atau diolah secara kimia, akar rambut dan ujung rambutnya diatur searah.
Jenis wig dari rambut manusia asli yang kedua adalah human hair yang 100% rambut manusia, tetapi antara akar rambut dan ujung rambutnya tercampur atau tidak diatur searah seperti rambut remi.
Jenis ketiga, campuran human hair, yaitu rambut manusia yang dicampur dengan serat bahan sintetis kualitas premium yang tahan panas.
Ada pun wig dari bahan tiruan juga ada tiga jenis yaitu heat resistant synthetic yang terbuat dari serat sintetis berkualitas tinggi, tahan panas, bisa diperlakukan seperti rambut manusia yang dicuci dan catok, tetapi tidak bisa dicat dengan pewarna rambut manusia.
Bahan kedua yaitu kanekalon yang 100% serat sintetis dan paling diminati. Kebanyakan wig sintetis terbuat dari serat ini karena walau agak berkilau tapi masih terlihat seperti asli dalam hal warna dan tekstur.
Bahan dasarnya adalah serat plastik dan lebih cepat kusut, juga sangat mudah kusam/rusak.
Bahan ketiga, toyokalon yaitu100% serat sintetis, bahan dasar plastik dan tidak terlihat seperti rambut manusia sama sekali. Bahan ini sering digunakan untuk pembuatan wig termasuk juga wig untuk kostum.
Bahan ini lembut dan mudah kusut, warna dan tekstur rambutnya juga sangat tidak terlihat alami/terlalu berkilau.
Nah, Divisi Fatwa MTT PP Muhammadiyah menjelaskan, wig atau rambut tiruan (menyambung rambut), disebutkan dalam beberapa hadis Nabi Saw, antara lain:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ قَدِمَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ الْمَدِينَةَ آخِرَ قَدْمَةٍ قَدِمَهَا فَخَطَبَنَا فَأَخْرَجَ كُبَّةً مِنْ شَعَرٍ فَقَالَ مَا كُنْتُ أُرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُ هَذَا غَيْرَ الْيَهُودِ وَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمَّاهُ الزُّورَ يَعْنِي الْوِصَالَ فِي الشَّعَرِ [رواه البخاري].
“Dari Sa’id bin al-Musayyab (diriwayatkan), ia berkata; Mu’awiyah bin Abu Sufyan mengunjungi Madinah pada kunjungannya yang terakhir lalu dia memberikan khuthbah sambil memegang jambul rambutnya, kemudian ia berkata; Aku belum pernah melihat seorang pun yang melakukan hal seperti ini kecuali orang Yahudi, dan sesungguhnya Nabi saw menamakannya dengan az-Zuur (kepalsuan), yaitu menyambung rambut dengan rambut palsu” [HR. al-Bukhari nomor 3229].
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ عَامَ حَجَّ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَنَاوَلَ قُصَّةً مِنْ شَعَرٍ وَكَانَتْ فِي يَدَيْ حَرَسِيٍّ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَللَّمَ يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ وَيَقُولُ إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ [رواه البخاري].
“Dari Humaid bin ‘Abdur-Rahman bahwa dia mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun hajji (akhir masa pemerintahannya) berdiri di atas mimbar sambil memegang jambul rambutnya sedangkan di sampingnya ada pengawalnya lalu berkata; “Wahai penduduk Madinah, mana ulama kalian? Aku mendengar Nabi saw melarang hal semacam ini dan beliau bersabda: Sesungguhnya Bani Isra’il binasa karena para wanita mereka melakukan ini” [HR. al-Bukhari nomor 3209].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ [رواه البخاري]
“Dari Abu Hurairah ra. (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda: Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya dan melaknat orang yang mentato dan yang minta ditato” [HR. al-Bukhari nomor 5477].
Menurut MTT PP Muhammadiyah, berdasarkan keterangan tentang wig dan hadis-hadis tersebut, maka hukum memakai wig adalah dilarang, baik disambungkan maupun hanya dipasangkan di atas kepala.
Selanjutnya, jika yang digunakan adalah wig dari bahan rambut asli manusia, maka orang yang menggunakannya termasuk yang akan mendapat laknat dari Allah.
Sementara itu, jika yang digunakan adalah wig dari bahan sintetis, maka hal tersebut termasuk perbuatan tabarru. Hal ini karena wig sekedar menutup kepala saja dan tidak dapat menutup aurat secara sempurna seperti halnya khimar (kerudung).
Dalam kitab “Shahih Fikih Sunnah” karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim disebutkan, bahwa tabarruj adalah seorang perempuan yang menampakkan perhiasan, kecantikan, dan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi, sehingga mengundang syahwat lelaki.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa menggunakan sesuatu yang tidak ada pada dirinya merupakan salah satu perbuatan yang menipu orang lain,
عَنْ فَاطِمَةَ عَنْ أَسْمَاءَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ [رواه البخري].
“Dari Fathimah dari Asma` (diriwayatkan) dari Nabi saw. – dalam riwayat lain- Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam dari Fathimah dari Asma` bahwa seorang wanita bertanya; Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki madu (istri lain dari suaminya), karena itu apakah aku akan mendapat dosa, bila aku menampak-nampakkan kepuasan dari suamiku dengan suatu hal yang tak diberikannya kepadaku? Rasulullah saw bersabda: Seorang yang menampakkan kepuasan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti halnya seorang yang memakai pakaian kepalsuan” [HR. al-Bukhari nomor 4818].
Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri seseorang adalah hal yang dilarang.
Menurut Divisi Fatwa MTT PP Muhammadiyah, hal ini juga berlaku bagi penggunaan wig yang sebenarnya bukan rambut asli yang tumbuh dari dirinya sendiri.
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa berhijab yang diperintahkan untuk menutup aurat wanita adalah dengan memakai jilbab atau pakaian yang menutup seluruh tubuh, yang salah satunya adalah khimar (kain kerudung) untuk menutup bagian kepala (rambut) hingga ke dada.
Menggunakan wig tentu tidak bisa menutup dengan sempurna, di samping juga dilarang dalam Islam.
Dengan demikian menggunakan hijab dengan wig adalah dilarang, baik wig tersebut digunakan sebagai pengganti khimar atau kain kerudung maupun digunakan secara rangkap setelah sebelumnya memakai khimar atau kain kerudung, karena termasuk kebohongan yang dengan kata lain berhijab namun seakan-akan tidak berhijab.
Wallahu a’lam bish-shawab