Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Membincang Ideologi (Bagian 1)

×

Membincang Ideologi (Bagian 1)

Share this article

images-11

Oleh : Muh. Asratillah S

Mungkin suatu waktu kita mendengar dalam sebuah pertemuan, seminar atau dalam percakapan sehari-hari istilah seperti “ideologi Pancasila”, atau mendengar orang yang berkoar-koar di atas mimbar atau sebuah pengajian yang membela dan mengelu-elukan istilah “ideologi Islam”, atau menguping pihak yang mendiskusikan atau mencurigai istilah “ideologi Komunisme”, “ideologi Sosialisme” atau “ideologi Marxisme”. Dah masih banyak lagi istilah yang salah satu kata penyusunya adalah “ideologi”.Bahkan dikalangan aktivis mahasiswa ataupun LSM kata ideologi telah populer sepopuler kata “Coca-Cola”, “Pepsi”, “Mcdonall”, hingga ada kecenderungan muatan emosi dan psikologis saat kita menyebut kata ideologi sama pada saat kita menyebut kata “BMW” dan “Honda”.  Yah mungkin kata ideologi tidak seideologis yang dulu lagi, mungkiiinnnnn.

Mari kita kembali ke “jalan yang lurus”. Apa itu ideologi?, sebelum kita membahas lebih lanjut ada satu hal yang harus kita perhtikan bahwa makna, konotasi, denotasi dan penggunaan kata ideologi tidaklah netral, tetapi bersifat politis. Dengan kata lain operasionalisasi dan pemaknaan kata “ideologi” sarat akan kepentingan dan pastinya diikuti oleh hasrat kuasa.

Misalnya untuk ruang lingkup (denotasi) kata ideologi, salah satu gerakan Islam transnasional yang mendaku dirinya sebagai partai politik Islam internasional,  beranggapan bahwa ideologi di bumi ini tidaklah lebih dari tiga. Ketiga ideologi tersebut adalah Ideologi Komunisme, Ideologi Islam dan Ideologi Kapitalisme.

Ideologi-ideologi lain seperti ideologi pancasila apalagi ideologi yang dimiliki oleh sebuah Ormas Muhammadiyah yang dirumuskan sebagai “ideologi Muhammadiyah” bukanlah sama sekali ideologi. Lalu mereka mengatakan bahwa ideologi Komunisme dan ideologi kapitalisme adalah bathil , yang benar adalah ideologi Islam, dan ideologi islam yang sebenar-benarnya adalah ideologi Islam seperti apa yang meraka rumuskan. Ini adalah bukti bahwa persepsi tentang ideologi sifatnya selalu memihak.

Seorang pemikir dan penulis Perancis yang sezaman dengan Napoleon Bonaparte, Desstutt de Tracy menuliskan dalam sebuah bukunya Elements d’ideologie (1827) memperkenalkan kata ideologiste. Tracy  menempatkan ideologi dalam posisi yang berlawanan dengan teologi dan metafisika.

Usaha Tracy ini jelas merupakan kelanjutan dari usaha-usaha proyek pencerahan terutama Francis Bacon yang berusaha mensterilkan batang tubuh pengetahuan dari segala bentuk kepentingan pribadi, asumsi-asumsi dan aksioma-aksioma spekulatif mistik-metafisik serta prasangka-prasangka buta dari agama. Dengan cara apa? Dengan cara mengukuhkan apa yang dikenal dengan “metode ilmiah”.Di dalam ideologinya Tracy berusaha mendeterminasi prasangka-prasangka dan bias-bias seseorang, serta berusaha mengembalikan ide-ide kapada kesan-kesan tempat asal ide-ide tersebut. Jadi ideologi versi Tracy bersifat positivistik.

Tapi pada akhirnya Napoleon Bonaparte menganggap Destutt de Tracy sebagai orang yang berbahaya serta ancaman bagi kekaisarannya, dan dia memakai kata ideologue, dalam arti negatif, untuk mensifati filsuf atau pihak mana saja yang berpihak kepada kelompok Destutt de Tracy. Sekali lagi ini bukti bahwa kuasa memainkan peranan penting dalam pemaknaan dan penggunaan kata Ideologi.

Satu abad setelah Tracy heterogenitas makna Ideologi mulai Nampak. Salah satu pemikir Jerman yang mempunyai andil besar dalam meramaikan mozaik makna ideologi adalah Karl Marx (1818-1883). Tapi menurut Goerge Ritzer, konsep ideologi Marx sangat erat kaitannya dengan konsep komoditasnya, bahkan bisa dikatakan komoditas memiliki porsi besar dalam pemikiran marx.

George Luckas (1922-1963) mengungkapkan “Persoalan komoditas adalah pusat persoalan kultural masyarakat kapitalis”, selain konsep komoditas sangat berkaitan erat dengan pemahaman Marx terhadap sejarah yang materialistis, klaim utama materialsme historis dari Marx adalah bahwa cara manusia memenuhi kebutuhannya menentukan atau secara umum mengkondisikan hubungan-hubungan mereka, institus-institusi sosial mereka, dan bahkan ide-ide mereka yang lazim.

Cara manusia memenuhi kebutuhannya dan relasi-relasi ekonomi yang muncul darinya disebut sebagai dasar, sedangkan relasi-relasi nonekonomi, institusi-institusi sosial dan ide-ide merupakan superstruktur. Perubahan-perubahan cara memenuhi kebutuhan dan kekuatan-keuatan produksi akan berakibat pada superstruktur, tapi ini bukanlah sebuah keniscayaan. Seringkali perubahan cara memenuhi kekuatan dan kekuatan produksi dihalangi oleh relasi-relasi, institusi-institusi sosial serta ide-ide umum yang ada demi mempertahankan kemapanan yang telah terbangun. Ide-ide umum yang menjalankan fungsi tersebut disebut oleh Marx sebagai ideologi.

Menurut Marx ideologi memanifestasikan dirinya dalam dua wajah. Wajah yang pertama ideologi merupakan usaha kapitalisme untuk merfleksikan realitas secara terbalik. Marx mengambil analogi kamera obscura yang menggunakan optic quirk dimana bayangan yang ditangkap oleh lensa akan ditangkap oleh pelat campuran perak dalam posisi terbalik, sama mekanismenya pada saat bayangan jatuh pada permukaan retina mata. Inilah tipe ideologi yang direpresentasikan oleh fenomena fetisisme komoditas dan uang.

Dimana komoditas dan nilai tukarnya yang dipertukarkan dengan uang merupakan sesuatu yang independen dan tampak natural, padahal nilai tukar komoditas yang tak ada sangkutpautnya dengan kebutuhan riil manusia merupakan fenomena sosial, politik bahkan kekuasaan. Kenapa kekuasaan? Karena nilai tukar komoditas menurut Marx adalah hasil eksploitasi para kapitalis terhadap para pekerja yang tereksploitasi.

Walaupun sebagian pemikir beranggapan bahwa de-ide Marx sudah ketinggalan jaman, seperti yang diungkapkan oleh bapak sosiologi dan pemikir asal Perancis Emile Durkheim (1858-1917). Tetapi pendapat tentang wajah pertama ideologi di atas masih memiliki relevansi dalam situasi kontemporer saat ini.

Kita bisa melihat bagaimana komoditas merupakan segala-galanya bagi masyarakat kontemporer, bukan hanya dalam bentuk barang-barang konsumtif, tetapi komoditas saat ini bisa saja meliputi beberapa domain budaya-kalau kita meminjam kategorisasi Rosenggren- apakah itu akademi (ingat fenomena komersialisasi pendidikan di Indonesia), estetika (bagaimana estetika saat ini telah menjadi budak-budak perusahaan niaga), agama (sekarang telah muncul fenomena ustad-seleb), sains, politik (bagaimana politik dianggap sebagai lahan untuk memperoleh peluang memperbanyak uang atau modal) dll. Komoditas telah menjadi sebagai sesuatu yang esensial, menjadi substratum eksistensi kita dan merupakan tempat kita menambatkan diri dalam menjalankan kehidupan…….

Bersambung ke bagian 2….

*Penulis adalah anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL