Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpiniPolitik dan HukumTokoh

Mencari Pribumi

×

Mencari Pribumi

Share this article
                                    Sumber : internet

 

Oleh: A. Hendra Dimansa

“Di saat senja mulai hingar-bingar kemerahan, dari kejauhan tampak segerombolan kabilah berjalan bersama yang menuntun ternak-ternaknya. Mencari tempat bernaung dari gelapnya sang malam, sebab dimana tanah mereka pijaki disitulah pengabdian dan kesetiaan mereka perturutkan. Demikianlah para kabilah-kabilah masyarakat Badawah (Nomaden)”_ Ibnu Khaldun

Istilah “Pribumi” yang disebutkan Anies Baswedan dalam pidatonya menuai beragam tanggapan. Seolah bagi kalangan tertentu Anies Baswedan mengirimkan pesan yang dapat bermuara pada persoalan SARA. Seolah-olah istilah “Pribumi” menjadi afirmasi terhadap sikap superioritas terhadap kalangan yang non-Pribumi. Isi pidato Gubernur  yang baru selayaknya menjadi momentum bagi masyarakat Jakarta untuk mendengarkan arah kebijakan pembangunan untuk semua, bukan malah menjadi ajang membuat garis pemisah antara yang “Pribumi” dan non-Pribumi. Apakah ini hasil dari pergulatan proses PILKADA yang panjang dan melelahkan ? sehingga yang dihasilkan adalah sikap superior dari kelompok tertentu, bukan mengayomi semua kalangan.

Tak pelik lagi untuk urusan bermasyarakat yang dibutuhkan akan adalah semangat kebersamaan. Sebab apa guna sang Penguasa bertahta dengan segala kemilaunya, kalau rakyat yang dimaksud tak lain rakyat pendukungnya. Untuk itulah di masa lalu, seorang Sultan Abu Inan memanggil seorang ahli pemikiran politik bernama Ibnu Khaldun. Untuk menggalang dukungan bagi sang Sultan, supaya kekuasaannya dapat ditopang dengan dukungan dari rakyat. Dari sanalah seorang Ibnu Khaldun menggalang dukungan buat sang Sultan guna menguatkan kedudukannya dan rakyat merasa menjadi bagian dari kerajaan.

Terkait dengan isi pidato Anies Baswedan yang menguraikan perkara “Pribumi” apabila dipandang dari sudut pandang Ibnu Khaldun sebagai pemikir politik. Dengan berkaca pada konteks sosial masyarakat Jakarta yang heterogen atau beragam, maka pidato tersebut dapat menimbulkan persoalan pada kehidupan sosial.

Mengingat pidato bertalian dengan “Pribumi” yang dilontarkan dengan apik Anies Baswedan dikawal dengan berantai penjelas yang runut, yang menyebutkan “Pribumi, yang ditindas dan dikalahkan” oleh, karena itu kemerdekaan harus dirasakan. Pidato yang apik yang disampaikan oleh Anies Baswedan bisa saja menjadi buah kebahagian dari penantian yang panjang bagi pendukungnya. Tapi, status sebagai “Gubernur” adalah pemimpin Jakarta baik yang mendukung atau tidak mendukung. Sehingga urusan seorang Gubernur bukan lagi melulu menyenangkan bagi si pendukung ataupun Partai Koalisi.

Urusan Jakarta sebagai miniatur keberagaman bangsa Indonesia, tentu Anies Baswedan mesti melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun bagi Sultan Abu Inan, yakni menggalangan dukungan dari berbagai kalangan. Sebab yang diperlukan Anies Baswedan ke depan yakni dukungan dari semua elemen sosial yang ada. Salah satu pandangan Ibnu Khaldun terkait runtuhnya kekuasaan seorang penguasa yakni rakyat telah kehilangan solidaritas sosialnya kepada pemimpinnya.

Tentu, Anies Baswedan tak ingin kehilangan solidaritas sosial dari masyarakatnya di usia kepemimpinannya yang baru berumur beberapa hari. Mengingat konteks sosial yang beragama tersebut, yang diperlukan Anies Baswedan bukan lagi pidato terkait “Pribumi” melainkan untuk semua. Kalau alasan pidato tersebut, bahwa rakyat Jakarta yang melihat di depan mata kolonialisasi terjadi. Pertanyaannya siapa yang “Pribumi” di Jakarta di masa itu ? sebab lahirnya Jakarta sebagai daerah yang ramai dan menjadi pusat perdagangan kolonialisasi menjadikan Jakarta melahirkan asimilasi budaya. Singkatnya kelahiran Jakarta adalah pertemuan dari beragam budaya, seperti pengaruh Barat, Melayu, Cina, Arab dan etnis serta suku yang lain. Bahkan alat musik Betawi yakni Tanjidor adalah hasil dari budaya Barat dan diiringi dengan kelahiran lagu-lagu Betawi. Bukankah keragaman itulah yang menyaksikan dari dekat kolonialisasi yang terjadi, mari tanyakan kepada sang Gubernur Anies Baswedan pemilik pidato “Pribumi” yang sah.

Semoga Anies Baswedan tidak mengalami apa yang diprediksi dari pemikiran politik Ibnu Khaldun, bahwa penguasa yang telah kehilangan solidaritas sosial dari rakyatnya akan mengalami nasib berupa kejatuhan. Sebab sadar atau tidak pidato “Pribumi” Anies Baswedan sangat berpotensi mengalami penggiringan pada kemerosotan solidaritas sosial, mengingat pidato tersebut seolah mengikuti selera golongan tertentu. Yang masih belum melek realita sosial dari bangsa Indonesia yang beragam, sebagaimana semboyangnya Pancasila “Bhehineka Tunggal Ika”.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply