KHITTAH.co, Makassar- Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel, Dr KH Abbas Baco Miro mengajak umat Islam untuk bijak menghadapi perbedaan hari Iduladha. Hal ini, ia sampaikan saat diwawancarai, Senin, 4 Juli 2022 via WhatsApp.
Kiai Abbas kembali mengingatkan bahwa perbedaan dalam agama merupakan sunnatullah . Terkait penentuan Iduladha, Ramadan, dan Idulfitri, perbedaan memungkinkan terjadi disebabkan oleh sikap ulama atau ahli fikih terbagi dua.
“Ada yang menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal dan yang kedua, imkanul ru’yah . Inilah yang membuat perbedaan itu bisa terjadi. Apalagi, pemerintah melalui Kementerian Agama menambah, untuk ru’yah meningkat standarnya dari 2 derajat menjadi 3 derajat,” ungkap Abbas.
Penambahan standar ini membuat potensi perbedaan terjadi sampai enam kali dalam 24 tahun, bukan hanya pada Ramadan, tetapi juga bulan lain.
Karena itulah, Kiai Abbas mengajak umat Islam, terkhusus para ulama untuk duduk bersama mendiskusikan terkait kalender Islam global.
Kalender Islam global ini akan menghadirkan kepastian terkait jatuhnya 1 Ramadan, 1 Syawal, dan waktu wukuf di Arafah, serta hari besar lainnya. Kalender ini akan berlaku global bagi seluruh umat Islam di dunia.
Ini, ungkap Kiai Abbas, adalah pekerjaan rumah bagi khazanah keilmuan Islam, sejak 1400 tahun lalu, yang belum menyatukan kalender hijriah, kalender Islam global.
Namun, sudah puluhan tahun belakangan ini, sudah ada upaya pengadaan kalender Islam global, seperti yang telah dilakukan di Turki.
“Sebenarnya, untuk hari-hari besar Islam lain, kita sudah menggunakan kalender, misalnya Puasa Muharram, Puasa Ayyamul bidh , kita sudah melihat kalender, tidak menunggu hasil ru’yah ,” ungkap Kiai Abbas.
Hanya saja, pihaknya menyadari, kalender Islam global tersebut dihadirkan dengan menggunakan hisab.
“Ini yang mungkin akan menghadirkan pertentangan dari para penganut ru’yah , tapi, selama kita menggunakan ru’yah , kita pasti akan sering berbeda dalam Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha,” ungkap Kiai Abbas.
Alasan Menggunakan Hisab
Terkait rukyat, jelas Kiai Abbas, ini didasarkan pada hadis “ suumuu li ruqyatihi” yang artinya, berpuasalah karena melihat (rukyat) hilal. Jika mendung atau tidak terlihat, genapkan satu hari lagi.
Di sisi lain, ungkap Kiai Abbas, hisab dikuatkan dengan hadis Qodeja’akum syahru Ramadhan _iftarafhallahu alaikum. . , telah datang kepada kalian bulan Ramadan dimana Allah mewajibkan kalian berpuasa.. (HR. Ahmad). Di hadis tersebut, ungkap Kiai Abbas, tidak ada syarat untuk melihat (rukyat) hilal untuk berpuasa, tapi dengan memastikan masuknya bulan Ramadan.
Namun, hadis lain juga tegas menjelaskan, inna ummati ummiyatuun laa wa laa nahsubu, bahwa umat Rasulullah tidak dapat membaca dan melakukan hisab. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar.
“Ini merupakan illat atau alasan Rasulullah memerintahkan ru’yah untuk melihat pergantian bulan. Dalam kaidah ushul fiqih , hukum itu berlaku menurut ada atau tidaknya illat atau sebabnya,” tandas Kiai Abbas.
Ditambah dengan firman Allah dalam QS Yunus ayat 5 dan Al-Baqarah ayat 185. Kedua ayat ini, ungkap Kiai Abbas, jelas menegaskan terkait perintah Allah melakukan hisab untuk mengetahui bilangan waktu, bulan, dan tahun.
Jadi, menurut Kiai Abbas, perintah rukyat itu hanya berlaku pada zaman Nabi. Saat itu juga, umat Islam masih bermukim di Jazirah Arab saja, belum lintas negara dan benua, sehingga belum ada masalah terkait rukyat dengan geografis yang berbeda.
Kiai Abbas menegaskan perintah hisab ada landasannya dari Rasulullah dan Quran. Hanya saja, umat Nabi saat itu, tidak bisa melakukan hisab.
“Dalam Surah Ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan bulan berputar sesuai perhitungan. Di Surah Yunus, ayat 5 ditegaskan juga Allah menjadikan matahari dan bulan bersinar dan ada manzilahnya supaya kita mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Hanya saja Nabi belum bisa melakukan hisab berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Umar. Sekarang, kita kan sudah bisa.”
Kedepankan Sikap Toleransi
Konsekuensi jika kalender Islam global, kita akan selalu berbeda dalam penanggalan hari-hari Islam. Untuk itu, kata Kiai Abbas menegaskan, perbedaan ini hendaknya disikapi biasa-biasa saja.
“Perbedaan ini jangan menjadi pemicu ketidakharmonisan masyarakat. Karena dari konsep persatuan ‘kan sebenarnya, bukan berarti bahwa hanya satu, tapi konsep keharmonisan, saling memahami, bertoleransi dalam agama, bahkan antaragama, bahkan di luar,” tutur Kiai Abbas.
Kiai Abbas juga menjaga umat untuk tetap menjaga kesopanan, tidak menggunjing umat yang berbeda hari pelaksanaan Iduladhanya.
Ini karena kita hidup di negara Indonesia, sebagai negara yang beradab, beretika, dan bermartabat.
“Undang-undang ‘kan juga menjamin warga untuk meyakini dan melaksanakan ibadah sesuai dengan pemahaman masing-masing,” tutup Kiai Abbas.